Pages

Rabu, 19 November 2014

Pastor - Pastor Yang Pernah Berkarya di Tanah Ogan
di Paroki Sang Penebus Batuputih
Ogan Komering Ulu


1. P. Theodorus Borst, SCJ
  1948 - 1949
 


2. P. Leo Kwanten, SCJ

1950-1954


3. P. G. Elling, SCJ
1955


4. P. Coenderman, SCJ
1960


5. P. Scheines. Y, SCJ & P. Theodorus Borst, SCJ
1961


6. P. Leo Kwanten, SCJ
1962 - 1963


7. P. Aj. Bontje, SCJ


 8. P. Abdi Putra Raharja, SCJ
1972


9. P. Nico Van Steekelemburg, SCJ


10.  P. Cz. Koziel, SCL
1974 - 1982


11. P. Madya Sukarta, SCJ
1983


12. RD. Freddy Bambang Sutarno 
1984


13. RD. FX. Hardjo Atmodjo
1985 - 1990


14. RD. Martinus Mardiono
1991 - 1997


15. RD. Edy Prasetyo
1997


16. RD. Y. Agung Sulistyo
1998 - 1999


  17. RD.Lourentius Radiki
1998


18. RD.L.Sudarmanto
1999 - 2000


19. RD.Petrus  Sukino
2000 - 2005



20. RD.A.Vian Dharma
2005 - 2008



21. RD.Stefanus  Supardi 
2008 - ……..


22. RD. Louiz  De Montfort
2012 - 2014


23. RD.Martinus  Widiyanto
2014 - ……..

Perziarahan Iman Katolik di Tanah Ogan - BATUPUTIH SI "BATU PASIH"



METAMORFOSIS BATUPUTIH SI “BATU PASIH”
Dari Percaya yang Kritis ke Katolik yang Mumpuni

Menyusuri setiap kelok jalan di tepi sungai Lengkayap ke arah hulu seolah memanjakan mata dengan birunya air. Tak terasa sudah tujuh kilometer berlalu dari kota Baturaja ketika sebuah tangga dengan tulisan di dekatnya menyapa penglihatan, “Gereja Sang Penebus Batuputih.” Itulah tangga gereja, orang dusun menyebutnya tangge gerija. Sebuah icon yang langsung menuntun pikiran bahwa Batuputih adalah kampung yang penduduk aslinya beragama Katolik. Menapaki tangge gerija seperti menapaki metamorfosis perjuangan iman dari percaya secara kritis menjadi Katolik yang mumpuni.

Tangga Gereja
Perarakan Pengantin setelah Pemberkatan 27 Januari 1968 

Iman: Percaya secara Kritis

         Penduduk Batuputih termasuk dalam rumpun suku Ogan dengan bahasa Ogan. Dusun Batuputih terletak di arah selatan kota Baturaja. Pada waktu itu Batuputih ditinggali kurang lebih 750 jiwa penduduk asli. Kehidupan masyarakatnya lebih banyak menggantungkan nasibnya pada hasil hutan, seperti: karet, kopi, duku dan durian, serta bercocok tanam di ladang. Sebelum mengenal katolik semua penduduk Batuputih beragama Islam. Kaum tua berkumpul, entah di rumah-rumah penduduk, di surau, maupun di pondok-pondok, untuk berdikusi tentang hal ber-Tuhan. Para bapak muda, kaum muda dan remaja aktif berzikir HADRAMAUD. Anak-anak gadis dan remaja putri asyik dengan TERBANGAN BESAR. Dari tahun ke tahun, secara silih berganti, para Kiai datang untuk mengajar ”ngaji.” Tradisi Islam yang sangat kental mempengaruhi adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Batuputih.

 Mgr. Henri Martin Mekkelhot, SCJ

Penduduk makin ”asyik” dan kritis dalam pengajaran para kiai. Selama masa periode 1939-1940, secara silih berganti, mereka mengundang para kiai dan alim ulama ternama untuk memperdalam ”ilmu Ketuhanan” (istilah untuk menyebut pengajaran tentang Tuhan). Dalam benak penduduk terselip rasa penasaran: para kiai selalu menghentikan pengajarannya ketika sampai pada Tasawuf. Mereka berusaha mencari kiai-kiai yang berilmu tinggi untuk menjawab rasa penasaran itu. Hingga tersiarlah kabar tentang kiai Mohammad Sa’id yang berasal dari Sarang Elang (OKI). Pertengahan tahun 1940, Kiai Mohammad Sa’id datang ke Batuputih untuk memberikan pengajaran melalui pantun (bait per bait) sehingga dapat dilagukan. Beberapa rumusan yang penting, antara lain: Hikayat 25 Nabi (Adam – Idris – Nuh dan lain-lain), pengertian tentang abjad dengan rumusan A-LI-MUN-TA-SA-JA-HI-DU-HUN-HUT-DU-MA. Kemudian ia membuat pengertian tentang pengajian dalam bentuk pantun:
“KODRAT SIFAT MA’ANI KODIRUN MAKNAUYA
Kuasa bukannya ini, yang kuasa ialah Die.”

Berkat kewibawaan, pengalaman serta keramahtamahannya, dalam waktu singkat bertambah banyaklah para pengikut beliau. Sebagai syarat untuk menjadi pengikut beliau, seseorang harus disucikan dulu dengan ”BERKERAMAS”. Berkeramas adalah suatu bentuk upacara dimana seseorang dimandikan dengan air dari tujuh macam bunga. Dari tahun ke tahun jumlah pengikut pengajian semakin bertambah. Pada tahun 1946 telah tercatat sebanyak 70 kepala keluarga. Hampir setiap malam diadakan pengajian dengan lagu dan pantun yang berisikan ajaran agama Islam.

Dalam pengajian Kiai Mohammad Sa’id juga menyampaikan ”nubuat”. [1] Dusun Batuputih pada akan menjadi “BATU PASIH,” dusun Batuputih akan lebih terkenal dari dusun-dusun lain disekitarnya. [2] Batuputih akan dipimpin oleh bujang dan gadis yang berpakaian putih. Para bujang dan gadis yang berpakaian putih itu adalah para Pastor, Frater dan Suster. Dan di Batuputih akan didirikan gedung yang putih. Yang dimaksud dengan gedung yang putih itu adalah gedung Gereja. [3] Pada suatu hari Kiai Mohammad Sa’id menunjuk ke sebidang kebun damar dan berkata, ”Berhati-hatilah kamu, pada suatu waktu Batuputih akan ditimpa dua bahaya besar. Tetapi jangan takut, kamu semua tetap selamat, dan kelak tanah ini akan menjadi ”suku selamat”.  Pada tahun 1947 terjadi pertempuran hebat antara RI dan Belanda di Batuputih. Pertempuran itu memakan korban ratusan jiwa. Seminggu sesudah pertempuran itu, terjadilah banjir besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam kedua peristiwa itu penduduk dusun Batuputih memang selamat. Kini tanah tersebut menjadi tempat pemakaman umat Katolik dan tempat berdirinya Gua Maria.
Kiai Mohammad Sa’id juga mengajarkan bahwa yang mengadili umat manusia pada hari kiamat adalah Nabi Isa Almasih; nabinya orang Kristen. Rasa penasaran semakin besar, terutama perihal pengadilan terakhir. Dalam situasi demikian, kaum tua-tua berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari jalan keluar.  

Harapan: Misi Baru Dimulai

Untuk mencari solusi, sejumlah tokoh masyarakat (Abdul Hulik, Damseh, Idrus Alwie, dan Alisuni yang di kemudian hari disebut “Tokoh Gereja Perdana”) mengambil keputusan untuk meminta petunjuk kepada Tuan Luyks, Residen yang berkedudukan di Baturaja. Ia seorang Belanda yang beragama Protestan. Ia menawarkan agama Kristen seraya bertanya, ”Kamu mau Kristen yang mana?” Di dalam ketidaktahuan, atas bimbingan Roh Allah mereka menjawab, ”Kristen yang tertua.” Tuan Luyks menghubungi imam Katolik di Palembang. Pada tanggal 16 Maret 1948, sekitar pukul 08.00 WIB, tibalah seorang Imam Katolik di Batuputih. Beliau adalah Pastor Th. Borst. SCJ. Kedatangan Pastor dengan kendaraan Jeep dan dikawal tentara Belanda itu disambut gembira oleh penduduk Batuputih. Tuhan telah mengutus hamba-Nya untuk suatu karya misi yang baru.

P. Theodorus Borst, SCJ

Pertemuan diadakan di depan rumah Abdul Hulik. Dalam pertemuan itu Pastor bertanya, ”Siapa di antara kamu yang menghendaki agama tertua?” Dengan mengacungkan jari serempak mereka menjawab, ”Kami inilah.” Sambil tersenyum Pastor memberikan beberapa penjelasan mengenai permasalahan mereka. Dengan mengepalkan tangan mereka berteriak, ”Kami setuju dan mulai sekarang kita maju….sekali lagi maju….!” Pada waktu itu tercatat sekitar 80 orang laki-laki dan perempuan mengikuti pertemuan. Lalu Pastor mengajak mereka berdoa. Untuk pertama kali doa Bapa Kami terucap oleh penduduk Batuputih. Pastor mengucapkan kata demi kata secara perlahan, kemudian penduduk mengulanginya sampai selesai. Setelah berdoa Pastor membagikan sikapulir (medali suci). Di akhir pertemuan Pastor menyarankan supaya mereka segera mengirim utusan untuk menjumpai Bapak Uskup di Talang Jawa-Palembang. Kemudian krio mengumpulkan rakyat untuk membicarakan hal itu. Akhirnya secara bergotong royong setiap keluarga iuran uang sebanyak Rp.2,50 (dua rupiah lima puluh sen) untuk membiayai utusan pergi ke Palembang.

Pada tanggal 18 maret 1948 berangkatlah tiga orang utusan pergi ke Palembang, yakni Abdul Hulik (Kerio), Damseh (Khotib), dan Alwie (Kiai). Di Palembang mereka bertemu dengan Mgr. Mekkelholt. Bapak Uskup bertanya, ”Apa sebab kamu mau agama Katolik? dan saudara tahu dari mana? Atau mungkin kamu sesat?” Mereka menjawab, ”Ini adalah kemauan kami sendiri! Kami telah mendapat pengajian dari Kiai Sarang Elang” Mendengar jawaban itu Bapak Uskup ingin bertemu dengan kiai tersebut. Ketiga utusan itu menjemput Kiai Mohammad Sa’id.
Setelah Bapak Uskup berdialog tentang ajaran-ajaran Kiai Mohammad Sa’id, ketiga utusan tinggal di Palembang. Sementara Kiai Mohammad Sa’id pulang ke Sarang Elang. Selama dua minggu mereka bertiga belajar agama katolik. Setelah Paskah tahun 1948, mereka kembali ke Batuputih untuk mengajar agama katolik. Walaupun bekal pengetahuan masih sangat minim, mereka memiliki kemauan dan semangat tinggi untuk maju. Mereka mengajarkan doa-doa harian dan tanya jawab tentang pokok-pokok ajaran Katolik dari buku katekismus kecil kepada para ibu dan bapak yang masih buta huruf.

Tidak lama kemudian Pastor Th. Borst SCJ datang dan menetap di Baturaja sebagai pengasuh anak-anak yatim piatu. Pastor sering berkunjung ke Batuputih. Bersama  “Tokoh Gereja Perdana,” Pastor mengunjungi keluarga-keluarga calon baptis. Pastor juga tertarik dengan pemberantasan buta huruf (PBH) yang saat itu dipelopori Abdul Hulik. Pertengahan tahun 1948, datanglah Yakob Tambuwan, seorang guru dari Manado. PBH dijadikan SR Xaverius, tempat belajarnya di kolong rumah. Secara gotong royong penduduk Batuputih mendirikan bangunan sekolah yang terdiri dari dua ruangan. Lalu pemerintah meminta Kerio Abdul Hulik memilih: menjadi guru atau Kerio. Beliau memilih menjadi guru. Selain memimpin SR, Yakob Tambuwan juga berperan sebagai katekis. Sejak itu setiap minggu diadakan perayaan misa kudus di rumah “Tokoh Gereja Perdana.” Setelah bangunan sekolah selesai, misa kudus diadakan di sekolah. Bidang kesehatan juga mendapat perhatian. Pada tahun 1948, juru rawat wanita (seorang Belanda)sering berkunjung ke Batuputih. Setelah para suster menetap di Rumah Sakit Umum Baturaja, pengobatan di Batuputih dilaksanakan oleh mereka.

 
        Petrus Abdul Hulik         Paulus Damseh          Yohanes Alwie       Yoseph Alisuni 

Waktu terus berlalu, berbagai karya pelayanan terus bertambah dan semakin mengalami kemajuan. Pada tanggal 31 oktober 1948 terjadilah peristiwa yang paling bersejarah bagi perkembangan Gereja Katolik di Batuputih: 24 orang Ogan dari lima keluarga dipermandikan Pastor Th. Borst SCJ. Sebelumnya memang terjadi baptisan, tetapi baptisan tersebut untuk orang tua yang sakit dan bayi yang baru dilahirkan. Maka, tanggal 31 oktober 1948 dapat dimaknai sebagai hari  kelahiran Gereja Katolik di tanah Ogan. Kini tanggal tersebut dirayakan sebagai HUT Paroki Sang Penebus Batuputih.

 Makam Empat Tokoh Pelopor





Kasih: Katolik yang Mumpuni

Menjadi Katolik berarti berserah diri untuk mengasihi semua orang tetapi belum tentu dikasihi semua orang. Perselisian dengan umat non-Katolik, perpecahan antara sang suami dengan isteri, antara bapak dengan anak, antara kakak dengan adik; terjadi seperti tanur api. Orang mencaci-maki dan mengejek umat katolik. Hari demi hari caci-maki itu semakin meluas ke pelosok dusun, ucapan sinis terdengar, ”orang Kristen kafir, orang Kristen beragama Belanda.“ Pastor dikatakan hantu  siang. Bapak dan ibu mendapat salam, “tabik tuan, tabik nyonya.” Umat Katolik tidak mempedulikannya. Dalam situasi demikian, datanglah seorang Pastor yang belum lancar berbahasa Indonesia, yakni Pastor Leo Kwanten, SCJ.

 P. Leo Kwanten, SCJ

Usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan umat Katolik terus berlanjut. Umat Katolik membangun bangsal batu-bata dan genting untuk membiayai berbagai kebutuhan, termasuk biaya pendidikan. Suatu saat bangsal dibakar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab tetapi keadaan segera diatasi. Pada tahun 1950 didirikanlah gedung gereja semi permanen. Umat juga membangun pastoran. Sebagai sarana penunjang kelancaran usaha bangsal batu bata dan genting, pada tahun 1951 pastor membeli sebuah mobil. Usaha bangsal semakin maju, dana yang diperoleh cukup besar. Oleh sebab itu, mulai tahun 1951 dikirimlah anak-anak untuk belajar ke Palembang, Lahat, Metro dan Pringsewu. Mereka yang harus belajar ke tingkat atas dikirim ke Semarang dan Malang. Pada tahun 1956 dibangun gedung sekolah baru yang terdiri dari lima ruangan belajar. Kemudian pada awal tahun 1970 didirikan taman kanak-kanak. 

Perkembangan yang pesat ini menyebabkan tanur api semakin membara. Kesalahan sedikit saja bisa berakibat maut. Pada tahun 1957 Pastor Leo Kwanten, SCJ menerima bantuan susu bubuk dari pemerintah. Susu tersebut disediakan untuk anak-anak di Batuputih. Kebaikan itu tidak diterima oleh sebagian masyarakat. Ketika ada anak tidak mau minum susu, Pastor datang ke sekolah untuk membujuk anak tersebut. Tetapi anak tersebut tetap tidak mau minum dan malah menangis. Akibatnya, teman-temannya mengejeknya. Setelah sampai di rumahnya, sang anak menceritakan hal tersebut kepada orangtuanya. Sang anak mengatakan bahwa ia disuruh Pastor minum air serani. Orangtua sang anak naik pitam. Sekitar pukul 20.00 WIB, bersama dua orang anggota keluarganya, orangtua sang anak datang ke pastoran. Mereka tidak mau lagi mendengar penjelasan Pastor. Mereka menganiaya Pastor. Enam tusukan bersarang di tubuh Pastor.

Umat Katolik sangat marah. Mereka ingin balas dendam. Atas bimbingan Tuhan, Mgr. Mekkelholt segera ke Batuputih untuk menyurutkan kemarahan umat. Mgr. Mekkelholt menasihati umat untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Sementara Pastor Kwanten SCJ yang luka parah dirawat di rumah sakit dan harus beristirahat lama. Karena ditopang oleh semangat hidup dan kasih kepada umat-Nya, Pastor Kwanten dapat pulih dan kembali melayani umat. Siraman darah merah Pastor menjadi saksi cinta dan pengorbanan seorang gembala untuk Gereja Batuputih. Sejak peristiwa itu semua anak yang non-Katolik menarik diri dari sekolah. Mulai tahun 1957 hingga sekarang 95% murid SD Xaverius Batuputih adalah anak-anak Katolik. 

Emas dimurnikan dalam tanur api. Demikian juga umat Katolik Batuputih. Berbagai gangguan tidak membuat hati umat katolik menjadi ciut, justru sebaliknya mereka semakin berani dan bersatu membangun iman. Waktu berjalan terus, semakin hari kegiatan gereja semakin meningkat. Tradisi katolik terus ditanamkan dan berkembang melalui berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain, setiap hari Misa Kudus, doa Rosario, salve, dan perarakan Sakramen Mahakudus. Secara kwantitas, jumlah umat pun semakin hari semakin bertambah. Umat Katolik Batuputih semakin mumpuni.

Kasih: Ketekunan dalam Karya

Seiring dengan bergulirnya waktu, Gereja Katolik Batuputih berkembang menjadi paroki yang jumlah stasinya banyak. Pastor yang menggembalakan umat di paroki ini juga mengalami pergantian. Pada tahun 1959 Pastor Leo Kwanten, SCJ pindah tugas dari paroki Sang Penebus Batuputih ke Panti Asuhan Rumah Yusup Baturaja. Sementara itu Paroki Sang penebus Batuputih secara bergantian dipimpin oleh Pastor A. Coenderman SCJ, Pastor P. Schmies, SCJ, Pastor P. van Leuwen, SCJ, Pastor Th. Borst, SCJ. Pada Tahun 1962 Pastor Leo Kwanten, SCJ kembali ditugaskan di Paroki Sang Penebus Batuputih sebelum digantikan oleh Pastor A.Y. Bonce, SCJ pada tahun 1964. 

Selama melayani Paroki Sang Penebus Batuputih, Pastor A.Y. Bonce, SCJ menggiatkan bidang pertanian dan koperasi, merehab gedung Gereja dari semipermanen menjadi permanen. Pastor juga menambah ruangan belajar  dari empat ruangan menjadi lima ruangan. Perumahan bagi karyawan pembuat batu bata juga dibangun pada masa Pastor A.Y. Bonce, SCJ. Tahun 1972 Paroki Sang Penebus Batuputih dipimpin oleh Pastor Abdi Putraraharja, SCJ. Beliau merangkap tugas sebagai Pastor Paroki Santo Petrus dan Paulus Baturaja. Beliau menggiatkan pertanian dan koperasi, serta mendirikan kelompok tani “Tekat Usaha.” Tahun 1973 Pastor Nico Steekelenberg, SCJ menggantikan Pastor Abdi Putraraharja, SCJ.

Periode tahun 1973-1982 Pastor Cz. Koziel, SCJ menggembalakan umat Paroki Sang Penebus Batuputih. Pastor Cz. Koziel, SCJ membangun gua Maria yang terletak di tengah-tengah perkuburan umat Katolik. Mereka melebarkan wilayah pelayanan dengan membangun stasi-stasi di Batumarta, yaitu stasi unit II, III, V, XI, XII, dan XIII. Pada tahun 1983, selama tiga bulan Paroki Sang penebus Batuputih dipimpin oleh Pastor Madhya Sukarto, SCJ. Meskipun hanya singkat, beliau menggerakkan kesadaran umat dalam dalam bidang liturgi. Beliau menekankan kesakralan dalam mengikuti perayaan liturgy. Pada Bulan KS beliau mengajak umat untuk mengadakan perarakan dari gua Maria ke gereja. Beliau memprakarsai adanya kolekte dengan hasil bumi.

Pada tahun 1984 Pastor Freddy Bambang Sutarno, Pr. Menggantikan Pastor Madhya Sukarto, SCJ. Pada tahun 1985 Pastor Freddy Bambang Sutarno, Pr diganti Pastor FX. Hardjoatmojo, Pr. Selama di batuputih beliau menyempurnakan bangunan Gua Maria dengan diberi pagar, sumur, tempat duduk dan taman. Beliau juga membangun pagar permanen untuk makam tokoh-tokoh umat perdana dan memindahkan makam salah seorang tokoh, yakni Bapak Y. Alisuni ke dalam pagar. Beliau juga merehab pagar gereja beserta tamannya. Beliau membangun gedung gereja di stasi Negeri Ratu (Peracak). Beliau juga memperluas daerah pelayanan dengan membangun stasi Way Salak, Muaradua Kisam, dan stasi Gemiyung.

Pada tahun 1991 Pastor Martinus Mardiono, Pr menggantikan Pastor Hardjo. Pastor Mardiono merehab beberapa bangunan gereja seperti unit X, unit III dan gedung gereja paroki. Gereja paroki direhab bagian atap, yakni dari seng diganti dengan atap genteng. Pada tahun 1998 tugas pelayanan umat di Paroki Sang Penebus Batuputih diteruskan oleh Pastor Agung Sulistyo, Pr. Pada awal tugasnya umat pernah terdorong secara bersama dengan masyarakat membangun jalan menuju gereja. Semula jalan itu buruk, apalagi bila musim hujan tiba jalan itu becek. Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan umat, Pastor juga mengusahakan kredit bibit karet.

Setelah Romo Agung, yang melayani Paroki Sang penebus Batuputih adalah Romo. L. Darmanto, Pr. Merehab resplang dan mengecat gereja, serta menambah tulisan dan patung di depan gereja. Setelah Romo Darmanto, Paroki Sang Penebus Batuputih dilayani oleh Romo Sukino, Pr. Setelah Romo Sukino, Pr, Paroki Sang Penebus Batuputih dilayani oleh Romo Vian Dharma, Pr. Baik Romo Sukino maupun Romo Vian berperan besar untuk menjalin komunikasi antarkaum muda. Hasilnya, banyak kaum muda menemukan pasangannya dari luar daerah asalnya.

Pada tahun 2008 Romo Stefanus Supardi, Pr datang menggantikan Romo Vian Dharma, Pr. Ketika Frater, Romo Supardi sudah menampakkan kecintaannya kepada budaya Batuputih. Beliau termasuk orang yang memprakarsai drama Natal dalam bahasa Ogan. Beliau juga menggali spiritualitas Ogan untuk memperkaya khasanah reflektif iman umat. Dalam waktu senggang beliau berlatih terbangan dan belajar pantun. Beliau motivator pembangunan balai dan pastoran. Dalam bidang liturgi Romo Supardi selalu berusaha menampilkan perayaan liturgi yang benar dan meriah. Beliau juga menekankan partisipasi umat dalam mengembangkan pelayanan. Romo Supardi juga merintis pelayanan di Villa Masin (OKU Timur) dan Talang Ladok (kurang lebih 15 KM dari Batuputih ke arah Muaradua). Untuk mengefektifkan pelayanan, Romo Supardi membagi wewenang dan tugas antara dewan paroki dengan dewan wilayah (dewan wilayah Batuputih, Batumarta, dan Martapura). 

Kasih: Yang Terbesar

            Metamorfosis perjuangan iman bukan hanya mengubah bentuk tetapi semakin memurnikan iman dan harapan untuk terus mengasihi. Ketika tangge gerija sudah ditapaki yang tampak adalah heningnya gereja dan megahnya balai dan pastoran yang menuntun langkah untuk bersyukur. Siapakah Batuputih sehingga Engkau kasihi sedemikian besar, ya Tuhan? Iman telah mengubah Batuputih. Harapan telah membentuknya. Kasih terus menjaga dan melestarikannya karena kesiapsediaan untuk berbagi sebagaimana telah dilakukan oleh Kristus Sang Penebus. Kasih menjadikan Batuputih menjadi si “Batu Pasih,” bukan hanya karena Batuputih itu Ogan tetapi karena Ekaristi telah dirayakan di sini. Kasih-Nya begitu besar. Terpujilah Engkau, Ya Tuhan.***