METAMORFOSIS
BATUPUTIH SI “BATU
PASIH”
Dari
Percaya yang Kritis ke Katolik yang Mumpuni
Menyusuri
setiap kelok jalan di tepi sungai Lengkayap ke arah hulu seolah memanjakan mata
dengan birunya air. Tak terasa sudah tujuh kilometer berlalu dari kota Baturaja
ketika sebuah tangga dengan tulisan di dekatnya menyapa penglihatan, “Gereja
Sang Penebus Batuputih.” Itulah tangga gereja, orang dusun menyebutnya tangge gerija. Sebuah icon yang langsung menuntun pikiran
bahwa Batuputih adalah kampung yang penduduk aslinya beragama Katolik. Menapaki
tangge gerija seperti menapaki
metamorfosis perjuangan iman dari percaya secara kritis menjadi Katolik yang
mumpuni.
Tangga Gereja
Perarakan Pengantin setelah Pemberkatan 27 Januari 1968
Iman:
Percaya secara Kritis
Penduduk
Batuputih termasuk dalam rumpun suku Ogan dengan bahasa Ogan. Dusun Batuputih
terletak di arah selatan kota Baturaja. Pada waktu itu Batuputih ditinggali
kurang lebih 750 jiwa penduduk asli. Kehidupan masyarakatnya lebih banyak
menggantungkan nasibnya pada hasil hutan, seperti: karet, kopi, duku dan
durian, serta bercocok tanam di ladang. Sebelum mengenal katolik semua penduduk
Batuputih beragama Islam. Kaum tua berkumpul, entah di rumah-rumah penduduk, di
surau, maupun di pondok-pondok, untuk berdikusi tentang hal ber-Tuhan. Para
bapak muda, kaum muda dan remaja aktif berzikir HADRAMAUD. Anak-anak gadis dan
remaja putri asyik dengan TERBANGAN BESAR. Dari tahun ke tahun, secara silih
berganti, para Kiai datang untuk mengajar ”ngaji.” Tradisi Islam yang sangat
kental mempengaruhi adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Batuputih.
Mgr. Henri Martin Mekkelhot, SCJ
Penduduk
makin ”asyik” dan kritis dalam pengajaran para kiai. Selama masa periode
1939-1940, secara silih berganti, mereka mengundang para kiai dan alim ulama
ternama untuk memperdalam ”ilmu Ketuhanan” (istilah untuk menyebut pengajaran
tentang Tuhan). Dalam benak penduduk terselip rasa penasaran: para kiai selalu
menghentikan pengajarannya ketika sampai pada Tasawuf. Mereka berusaha mencari
kiai-kiai yang berilmu tinggi untuk menjawab rasa penasaran itu. Hingga
tersiarlah kabar tentang kiai Mohammad Sa’id yang berasal dari Sarang Elang
(OKI). Pertengahan tahun 1940, Kiai Mohammad Sa’id datang ke Batuputih untuk
memberikan pengajaran melalui pantun (bait per bait) sehingga dapat dilagukan.
Beberapa rumusan yang penting, antara lain: Hikayat 25 Nabi (Adam – Idris – Nuh
dan lain-lain), pengertian tentang abjad dengan rumusan
A-LI-MUN-TA-SA-JA-HI-DU-HUN-HUT-DU-MA. Kemudian ia membuat pengertian tentang
pengajian dalam bentuk pantun:
“KODRAT SIFAT MA’ANI KODIRUN
MAKNAUYA
Kuasa bukannya ini, yang kuasa ialah
Die.”
Berkat
kewibawaan, pengalaman serta keramahtamahannya, dalam waktu singkat bertambah
banyaklah para pengikut beliau. Sebagai syarat untuk menjadi pengikut beliau,
seseorang harus disucikan dulu dengan ”BERKERAMAS”. Berkeramas adalah suatu
bentuk upacara dimana seseorang dimandikan dengan air dari tujuh macam bunga.
Dari tahun ke tahun jumlah pengikut pengajian semakin bertambah. Pada tahun
1946 telah tercatat sebanyak 70 kepala keluarga. Hampir setiap malam diadakan
pengajian dengan lagu dan pantun yang berisikan ajaran agama Islam.
Dalam
pengajian Kiai Mohammad Sa’id juga menyampaikan ”nubuat”. [1] Dusun Batuputih pada akan menjadi “BATU PASIH,” dusun Batuputih
akan lebih terkenal dari dusun-dusun lain disekitarnya. [2] Batuputih akan dipimpin oleh bujang dan gadis yang berpakaian
putih. Para bujang dan gadis yang berpakaian putih itu adalah para Pastor,
Frater dan Suster. Dan di Batuputih akan didirikan gedung yang putih. Yang
dimaksud dengan gedung yang putih itu adalah gedung Gereja. [3] Pada suatu hari Kiai Mohammad Sa’id
menunjuk ke sebidang kebun damar dan berkata, ”Berhati-hatilah kamu, pada suatu
waktu Batuputih akan ditimpa dua bahaya besar. Tetapi jangan takut, kamu semua
tetap selamat, dan kelak tanah ini akan menjadi ”suku selamat”. Pada tahun
1947 terjadi pertempuran hebat antara RI dan Belanda di Batuputih. Pertempuran
itu memakan korban ratusan jiwa. Seminggu sesudah pertempuran itu, terjadilah
banjir besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam kedua peristiwa itu
penduduk dusun Batuputih memang selamat. Kini tanah tersebut menjadi tempat
pemakaman umat Katolik dan tempat berdirinya Gua Maria.
Kiai
Mohammad Sa’id juga mengajarkan bahwa yang mengadili umat manusia pada hari
kiamat adalah Nabi Isa Almasih; nabinya orang Kristen. Rasa penasaran semakin
besar, terutama perihal pengadilan terakhir. Dalam situasi demikian, kaum
tua-tua berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari jalan keluar.
Harapan:
Misi Baru Dimulai
Untuk
mencari solusi, sejumlah tokoh masyarakat (Abdul Hulik, Damseh, Idrus Alwie,
dan Alisuni yang di kemudian hari disebut “Tokoh Gereja Perdana”) mengambil
keputusan untuk meminta petunjuk kepada Tuan Luyks, Residen yang berkedudukan
di Baturaja. Ia seorang Belanda yang beragama Protestan. Ia menawarkan agama
Kristen seraya bertanya, ”Kamu mau Kristen yang mana?” Di dalam ketidaktahuan,
atas bimbingan Roh Allah mereka menjawab, ”Kristen yang tertua.” Tuan Luyks
menghubungi imam Katolik di Palembang. Pada tanggal 16 Maret 1948, sekitar
pukul 08.00 WIB, tibalah seorang Imam Katolik di Batuputih. Beliau adalah
Pastor Th. Borst. SCJ. Kedatangan Pastor dengan kendaraan Jeep dan dikawal
tentara Belanda itu disambut gembira oleh penduduk Batuputih. Tuhan telah mengutus
hamba-Nya untuk suatu karya misi yang baru.
P. Theodorus Borst, SCJ
Pertemuan
diadakan di depan rumah Abdul Hulik. Dalam pertemuan itu Pastor bertanya,
”Siapa di antara kamu yang menghendaki agama tertua?” Dengan mengacungkan jari
serempak mereka menjawab, ”Kami inilah.” Sambil tersenyum Pastor memberikan
beberapa penjelasan mengenai permasalahan mereka. Dengan mengepalkan tangan
mereka berteriak, ”Kami setuju dan mulai sekarang kita maju….sekali lagi
maju….!” Pada waktu itu tercatat sekitar 80 orang laki-laki dan perempuan
mengikuti pertemuan. Lalu Pastor mengajak mereka berdoa. Untuk pertama kali doa
Bapa Kami terucap oleh penduduk Batuputih. Pastor mengucapkan kata demi kata
secara perlahan, kemudian penduduk mengulanginya sampai selesai. Setelah berdoa
Pastor membagikan sikapulir (medali
suci). Di akhir pertemuan Pastor menyarankan supaya mereka segera mengirim
utusan untuk menjumpai Bapak Uskup di Talang Jawa-Palembang. Kemudian krio
mengumpulkan rakyat untuk membicarakan hal itu. Akhirnya secara bergotong
royong setiap keluarga iuran uang sebanyak Rp.2,50 (dua rupiah lima puluh sen)
untuk membiayai utusan pergi ke Palembang.
Pada
tanggal 18 maret 1948 berangkatlah tiga orang utusan pergi ke Palembang, yakni
Abdul Hulik (Kerio), Damseh (Khotib), dan Alwie (Kiai). Di Palembang mereka
bertemu dengan Mgr. Mekkelholt. Bapak Uskup bertanya, ”Apa sebab kamu mau agama
Katolik? dan saudara tahu dari mana? Atau mungkin kamu sesat?” Mereka menjawab,
”Ini adalah kemauan kami sendiri! Kami telah mendapat pengajian dari Kiai Sarang
Elang” Mendengar jawaban itu Bapak Uskup ingin bertemu dengan kiai tersebut.
Ketiga utusan itu menjemput Kiai Mohammad Sa’id.
Setelah
Bapak Uskup berdialog tentang ajaran-ajaran Kiai Mohammad Sa’id, ketiga utusan
tinggal di Palembang. Sementara Kiai Mohammad Sa’id pulang ke Sarang Elang.
Selama dua minggu mereka bertiga belajar agama katolik. Setelah Paskah tahun
1948, mereka kembali ke Batuputih untuk mengajar agama katolik. Walaupun bekal
pengetahuan masih sangat minim, mereka memiliki kemauan dan semangat tinggi
untuk maju. Mereka mengajarkan doa-doa harian dan tanya jawab tentang
pokok-pokok ajaran Katolik dari buku katekismus kecil kepada para ibu dan bapak
yang masih buta huruf.
Tidak
lama kemudian Pastor Th. Borst SCJ datang dan menetap di Baturaja sebagai
pengasuh anak-anak yatim piatu. Pastor sering berkunjung ke Batuputih.
Bersama “Tokoh Gereja Perdana,” Pastor
mengunjungi keluarga-keluarga calon baptis. Pastor juga tertarik dengan
pemberantasan buta huruf (PBH) yang saat itu dipelopori Abdul Hulik.
Pertengahan tahun 1948, datanglah Yakob Tambuwan, seorang guru dari Manado. PBH
dijadikan SR Xaverius, tempat belajarnya di kolong rumah. Secara gotong royong
penduduk Batuputih mendirikan bangunan sekolah yang terdiri dari dua ruangan.
Lalu pemerintah meminta Kerio Abdul Hulik memilih: menjadi guru atau Kerio.
Beliau memilih menjadi guru. Selain memimpin SR, Yakob Tambuwan juga berperan
sebagai katekis. Sejak itu setiap minggu diadakan perayaan misa kudus di rumah
“Tokoh Gereja Perdana.” Setelah bangunan sekolah selesai, misa kudus diadakan
di sekolah. Bidang kesehatan juga mendapat perhatian. Pada tahun 1948, juru
rawat wanita (seorang Belanda)sering berkunjung ke Batuputih. Setelah para
suster menetap di Rumah Sakit Umum Baturaja, pengobatan di Batuputih
dilaksanakan oleh mereka.
Petrus Abdul Hulik Paulus Damseh Yohanes Alwie Yoseph Alisuni
Waktu
terus berlalu, berbagai karya pelayanan terus bertambah dan semakin mengalami
kemajuan. Pada tanggal 31 oktober 1948 terjadilah peristiwa yang paling
bersejarah bagi perkembangan Gereja Katolik di Batuputih: 24 orang Ogan dari
lima keluarga dipermandikan Pastor Th. Borst SCJ. Sebelumnya memang terjadi
baptisan, tetapi baptisan tersebut untuk orang tua yang sakit dan bayi yang
baru dilahirkan. Maka, tanggal 31 oktober 1948 dapat dimaknai sebagai hari kelahiran Gereja Katolik di tanah Ogan. Kini
tanggal tersebut dirayakan sebagai HUT Paroki Sang Penebus Batuputih.
Makam Empat Tokoh Pelopor
Kasih:
Katolik yang Mumpuni
Menjadi
Katolik berarti berserah diri untuk mengasihi semua orang tetapi belum tentu
dikasihi semua orang. Perselisian dengan umat non-Katolik, perpecahan antara
sang suami dengan isteri, antara bapak dengan anak, antara kakak dengan adik;
terjadi seperti tanur api. Orang mencaci-maki dan mengejek umat katolik. Hari
demi hari caci-maki itu semakin meluas ke pelosok dusun, ucapan sinis
terdengar, ”orang Kristen kafir, orang Kristen beragama Belanda.“ Pastor
dikatakan hantu siang. Bapak dan ibu
mendapat salam, “tabik tuan, tabik nyonya.” Umat Katolik tidak mempedulikannya.
Dalam situasi demikian, datanglah seorang Pastor yang belum lancar berbahasa
Indonesia, yakni Pastor Leo Kwanten, SCJ.
P. Leo Kwanten, SCJ
Usaha
untuk meningkatkan mutu kehidupan umat Katolik terus berlanjut. Umat Katolik
membangun bangsal batu-bata dan genting untuk membiayai berbagai kebutuhan,
termasuk biaya pendidikan. Suatu saat bangsal dibakar oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab tetapi keadaan segera diatasi. Pada tahun 1950
didirikanlah gedung gereja semi permanen. Umat juga membangun pastoran. Sebagai
sarana penunjang kelancaran usaha bangsal batu bata dan genting, pada tahun
1951 pastor membeli sebuah mobil. Usaha bangsal semakin maju, dana yang
diperoleh cukup besar. Oleh sebab itu, mulai tahun 1951 dikirimlah anak-anak
untuk belajar ke Palembang, Lahat, Metro dan Pringsewu. Mereka yang harus
belajar ke tingkat atas dikirim ke Semarang dan Malang. Pada tahun 1956
dibangun gedung sekolah baru yang terdiri dari lima ruangan belajar. Kemudian
pada awal tahun 1970 didirikan taman kanak-kanak.
Perkembangan
yang pesat ini menyebabkan tanur api semakin membara. Kesalahan sedikit saja
bisa berakibat maut. Pada tahun 1957 Pastor Leo Kwanten, SCJ menerima bantuan
susu bubuk dari pemerintah. Susu tersebut disediakan untuk anak-anak di
Batuputih. Kebaikan itu tidak diterima oleh sebagian masyarakat. Ketika ada
anak tidak mau minum susu, Pastor datang ke sekolah untuk membujuk anak
tersebut. Tetapi anak tersebut tetap tidak mau minum dan malah menangis.
Akibatnya, teman-temannya mengejeknya. Setelah sampai di rumahnya, sang anak
menceritakan hal tersebut kepada orangtuanya. Sang anak mengatakan bahwa ia
disuruh Pastor minum air serani. Orangtua sang anak naik pitam. Sekitar pukul
20.00 WIB, bersama dua orang anggota keluarganya, orangtua sang anak datang ke
pastoran. Mereka tidak mau lagi mendengar penjelasan Pastor. Mereka menganiaya
Pastor. Enam tusukan bersarang di tubuh Pastor.
Umat
Katolik sangat marah. Mereka ingin balas dendam. Atas bimbingan Tuhan, Mgr.
Mekkelholt segera ke Batuputih untuk menyurutkan kemarahan umat. Mgr.
Mekkelholt menasihati umat untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Sementara Pastor Kwanten SCJ yang luka parah dirawat di rumah sakit dan harus
beristirahat lama. Karena ditopang oleh semangat hidup dan kasih kepada
umat-Nya, Pastor Kwanten dapat pulih dan kembali melayani umat. Siraman darah
merah Pastor menjadi saksi cinta dan pengorbanan seorang gembala untuk Gereja
Batuputih. Sejak peristiwa itu semua anak yang non-Katolik menarik diri dari
sekolah. Mulai tahun 1957 hingga sekarang 95% murid SD Xaverius Batuputih
adalah anak-anak Katolik.
Emas
dimurnikan dalam tanur api. Demikian juga umat Katolik Batuputih. Berbagai
gangguan tidak membuat hati umat katolik menjadi ciut, justru sebaliknya mereka
semakin berani dan bersatu membangun iman. Waktu berjalan terus, semakin hari
kegiatan gereja semakin meningkat. Tradisi katolik terus ditanamkan dan
berkembang melalui berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain,
setiap hari Misa Kudus, doa Rosario, salve, dan perarakan Sakramen Mahakudus.
Secara kwantitas, jumlah umat pun semakin hari semakin bertambah. Umat Katolik
Batuputih semakin mumpuni.
Kasih:
Ketekunan dalam Karya
Seiring
dengan bergulirnya waktu, Gereja Katolik Batuputih berkembang menjadi paroki
yang jumlah stasinya banyak. Pastor yang menggembalakan umat di paroki ini juga
mengalami pergantian. Pada tahun 1959 Pastor Leo Kwanten, SCJ pindah tugas dari
paroki Sang Penebus Batuputih ke Panti Asuhan Rumah Yusup Baturaja. Sementara
itu Paroki Sang penebus Batuputih secara bergantian dipimpin oleh Pastor A.
Coenderman SCJ, Pastor P. Schmies, SCJ, Pastor P. van Leuwen, SCJ, Pastor Th.
Borst, SCJ. Pada Tahun 1962 Pastor Leo Kwanten, SCJ kembali ditugaskan di
Paroki Sang Penebus Batuputih sebelum digantikan oleh Pastor A.Y. Bonce, SCJ
pada tahun 1964.
Selama
melayani Paroki Sang Penebus Batuputih, Pastor A.Y. Bonce, SCJ menggiatkan
bidang pertanian dan koperasi, merehab gedung Gereja dari semipermanen menjadi
permanen. Pastor juga menambah ruangan belajar
dari empat ruangan menjadi lima ruangan. Perumahan bagi karyawan pembuat
batu bata juga dibangun pada masa Pastor A.Y. Bonce, SCJ. Tahun 1972 Paroki
Sang Penebus Batuputih dipimpin oleh Pastor Abdi Putraraharja, SCJ. Beliau
merangkap tugas sebagai Pastor Paroki Santo Petrus dan Paulus Baturaja. Beliau
menggiatkan pertanian dan koperasi, serta mendirikan kelompok tani “Tekat
Usaha.” Tahun 1973 Pastor Nico Steekelenberg, SCJ menggantikan Pastor Abdi
Putraraharja, SCJ.
Periode
tahun 1973-1982 Pastor Cz. Koziel, SCJ menggembalakan umat Paroki Sang Penebus
Batuputih. Pastor Cz. Koziel, SCJ membangun gua Maria yang terletak di
tengah-tengah perkuburan umat Katolik. Mereka melebarkan wilayah pelayanan
dengan membangun stasi-stasi di Batumarta, yaitu stasi unit II, III, V, XI,
XII, dan XIII. Pada tahun 1983, selama tiga bulan Paroki Sang penebus Batuputih
dipimpin oleh Pastor Madhya Sukarto, SCJ. Meskipun hanya singkat, beliau
menggerakkan kesadaran umat dalam dalam bidang liturgi. Beliau menekankan
kesakralan dalam mengikuti perayaan liturgy. Pada Bulan KS beliau mengajak umat
untuk mengadakan perarakan dari gua Maria ke gereja. Beliau memprakarsai adanya
kolekte dengan hasil bumi.
Pada
tahun 1984 Pastor Freddy Bambang Sutarno, Pr. Menggantikan Pastor Madhya
Sukarto, SCJ. Pada tahun 1985 Pastor Freddy Bambang Sutarno, Pr diganti Pastor
FX. Hardjoatmojo, Pr. Selama di batuputih beliau menyempurnakan bangunan Gua
Maria dengan diberi pagar, sumur, tempat duduk dan taman. Beliau juga membangun
pagar permanen untuk makam tokoh-tokoh umat perdana dan memindahkan makam salah
seorang tokoh, yakni Bapak Y. Alisuni ke dalam pagar. Beliau juga merehab pagar
gereja beserta tamannya. Beliau membangun gedung gereja di stasi Negeri Ratu
(Peracak). Beliau juga memperluas daerah pelayanan dengan membangun stasi Way
Salak, Muaradua Kisam, dan stasi Gemiyung.
Pada
tahun 1991 Pastor Martinus Mardiono, Pr menggantikan Pastor Hardjo. Pastor
Mardiono merehab beberapa bangunan gereja seperti unit X, unit III dan gedung
gereja paroki. Gereja paroki direhab bagian atap, yakni dari seng diganti
dengan atap genteng. Pada tahun 1998 tugas pelayanan umat di Paroki Sang
Penebus Batuputih diteruskan oleh Pastor Agung Sulistyo, Pr. Pada awal tugasnya
umat pernah terdorong secara bersama dengan masyarakat membangun jalan menuju
gereja. Semula jalan itu buruk, apalagi bila musim hujan tiba jalan itu becek.
Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan umat, Pastor juga mengusahakan kredit
bibit karet.
Setelah
Romo Agung, yang melayani Paroki Sang penebus Batuputih adalah Romo. L.
Darmanto, Pr. Merehab resplang dan mengecat gereja, serta menambah tulisan dan
patung di depan gereja. Setelah Romo Darmanto, Paroki Sang Penebus Batuputih
dilayani oleh Romo Sukino, Pr. Setelah Romo Sukino, Pr, Paroki Sang Penebus
Batuputih dilayani oleh Romo Vian Dharma, Pr. Baik Romo Sukino maupun Romo Vian
berperan besar untuk menjalin komunikasi antarkaum muda. Hasilnya, banyak kaum
muda menemukan pasangannya dari luar daerah asalnya.
Pada
tahun 2008 Romo Stefanus Supardi, Pr datang menggantikan Romo Vian Dharma, Pr.
Ketika Frater, Romo Supardi sudah menampakkan kecintaannya kepada budaya
Batuputih. Beliau termasuk orang yang memprakarsai drama Natal dalam bahasa
Ogan. Beliau juga menggali spiritualitas Ogan untuk memperkaya khasanah
reflektif iman umat. Dalam waktu senggang beliau berlatih terbangan dan belajar
pantun. Beliau motivator pembangunan balai dan pastoran. Dalam bidang liturgi
Romo Supardi selalu berusaha menampilkan perayaan liturgi yang benar dan
meriah. Beliau juga menekankan partisipasi umat dalam mengembangkan pelayanan.
Romo Supardi juga merintis pelayanan di Villa Masin (OKU Timur) dan Talang
Ladok (kurang lebih 15 KM dari Batuputih ke arah Muaradua). Untuk
mengefektifkan pelayanan, Romo Supardi membagi wewenang dan tugas antara dewan
paroki dengan dewan wilayah (dewan wilayah Batuputih, Batumarta, dan
Martapura).
Kasih:
Yang Terbesar
Metamorfosis perjuangan iman bukan
hanya mengubah bentuk tetapi semakin memurnikan iman dan harapan untuk terus
mengasihi. Ketika tangge gerija sudah
ditapaki yang tampak adalah heningnya gereja dan megahnya balai dan pastoran
yang menuntun langkah untuk bersyukur. Siapakah Batuputih sehingga Engkau
kasihi sedemikian besar, ya Tuhan? Iman telah mengubah Batuputih. Harapan telah
membentuknya. Kasih terus menjaga dan melestarikannya karena kesiapsediaan
untuk berbagi sebagaimana telah dilakukan oleh Kristus Sang Penebus. Kasih
menjadikan Batuputih menjadi si “Batu Pasih,” bukan hanya karena Batuputih itu
Ogan tetapi karena Ekaristi telah dirayakan di sini. Kasih-Nya begitu besar.
Terpujilah Engkau, Ya Tuhan.***