Pages

Selasa, 18 November 2014

PESONA DI BALIK CADAR OGAN BATUPUTIH



PESONA DI BALIK CADAR OGAN
Suku Ogan adalah suku tua di Sumatera Selatan yang menyebar di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ilir. Manusia ogan mendiami sepanjang aliran sungai Ogan dari Baturaja hingga Selapan. Orang Ogan disebut juga orang Pegagan. Suku ini terbagi menjadi Suku Ulu, Suku Penesak dan Suku Pegagan Ilir.[1]
            Ogan, sebagai salah satu suku asli di Sumatera Selatan ini telah merupakan suatu kekayaan Indonesia yang harus dijaga. Meski peradaban bangsa seolah melebur pada budaya global yang dalam banyak sisi menawarkan aneka pesona kehidupan cosmopolitan, tetapi keunikan budaya sebagai basis terbentuknya sebuah masyarakat justru memiliki makna dan nilai-nilai yang tidak bisa diabaikan begitu saja. 
             Minimnya tulisan tentang Ogan, menjadi salah satu indikasi akan tergerusnya Ogan oleh nilai-nilai global. Terkait dengan hal ini, dengan data yang sangat minim, karya ini mencoba untuk mengenal lebih jauh lagi bagaimana sesungguhnya suku Ogan , hingga kemudian bersama-sama  menemukan hal-hal yang tersembunyi yang menjiwai masyarakat sehingga tetap eksis sebagai suku yang berbudaya, sebagai bagian dari kekayaan Indonesia.
            Tulisan ini melakukan telaah terhadap 7 (tujuh) unsur kebudayaan universal yang juga ada dalam budaya Ogan.[2] Dari catatan-catatan ini diharapkan dapat menjadi catatan awal bagi perkembangan penelitian selanjutnya sesuai konteks dan kebutuhan.[3]
1. Sistem kepercayaan (sistem religi)
            Suku Ogan sebagai bagian dari suku-suku di Sumatera Selatan secara tradisional masih mempercayai adanya Puyang. Puyang dipahami dalam dua pengertian. Dalam arti pertama (ditulis dengan “PUYANG” ), PUYANG adalah nama yang digunakan oleh masyarakat Ogan untuk menyebut identitas yang menjadikan dan menguasai alam semesta. Menurut masyarakat Ogan, PUYANG hadir di mana-mana, dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam arti kedua (ditulis dengan “Puyang”), Puyang adalah identitas yang merujuk leluhur (nenek moyang), tokoh yang membuka daerah tersebut, atau tokoh yang mempunyai kewibawaan dan kesaktian. Karena kewibawaannya, lama setelah meninggal pun puyang tetap diakui  keberadaannya.  Bahkan, roh puyang mendiami suatu tempat yang biasanya diyakini sebagai kuburan yang bersangkutan. Baik PUYANG maupun puyang berpotensi mencelakakan atau menimbulkan penyakit tetapi juga dapat menyembuhkan.
Selain itu, masyarakat Ogan juga mengenal identitas penunggu, berbagai sebutan untuk ninek, dan hantu. Penunggu adalah obyek imajiner yang juga berpotensi  mencelakakan atau menyembuhkan yang mendiami suatu tempat, misalnya bulukh-an, batang ahi, pohon besar, batu besar, dan persimpangan jalan. Meskipun tidak sepenuhnya tepat, kadang kala penunggu disamakan dengan puyang. Puyang pastilah penunggu suatu tempat tetapi penunggu belum tentu puyang. Penunggu juga sering disebut sebagai PUYANG sebagaimana panenteisme dalam paham Allah.[4]
Ninek adalah sebutan untuk penguasa hutan atau harimau pada umumnya. Sebetulnya, ninek adalah panggilan cucu kepada kakeknya (bahasa Indonesia “kakek”) atau panggilan hormat kepada orang yang sudah sepuh (bahasa Jawa “mbah”). Bagi masyarakat Ogan, tabu untuk menyebut namanya secara langsung. Sebutan ninek adalah kombinasi rasa hormat sekaligus takut. Dengan menyebut ninek,  orang Ogan percaya harimau itu tidak akan mencelakakan. Sense sebutan ninek untuk harimau lebih menunjukkan rasa takut daripada rasa hormat. Andaikan harimau itu tidak menakutkan belum tentu ia dihormati dengan sebutan ninek.
Masyarakat Ogan juga mengenal sebutan berbagai macam hantu, misalnya hantu ayakh (hantu air) dan hantu hutan. Hantu adalah roh mendiami suatu tempat. Berbeda dengan PUYANG, puyang, penunggu, atau ninek, sifat hantu selalu jahat atau mencelakakan. Di sungai, hantu menyebabkan orang hanyut. Di hutan, hantu menyebabkan orang tersesat. Karena itu hantu ditakuti dan dijauhi. Bagi masyarakat Ogan, bertemu hantu berarti petaka.
            Dalam kehidupan sehari-hari terbatinkan ungkapan “permisi” (Yang-yang, numpang …). Kalau tidak permisi, mereka khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya sakit. Ketika pesta upacara sesaji disajikan untuk mengundang dan mohon restu kepada puyang, leluhur, dan sanak keluarga yang sudah meninggal. Tujuan sesaji itu agar pesta tidak diganggu. Upacara sesaji dalam pesta bisa diabaikan. Upacara sesaji harus terjadi kalau sakit atau kemalangan yang tak tersembuhkan. Ketika sakit atau sedang mengalami kemalangan, orang Ogan melakukan sesaji dengan tujuan rekonsiliasi atau permohonan ampun. Yang diberi sesaji adalah PUYANG, puyang, dan para penunggu. Upacara sesaji menunjukkan pengakuan kekuasaan dan ketakutan terhadap yang berkuasa. Yang paling berkuasa di antaranya adalah PUYANG
            Mitos tentang Puyang ini cukup banyak dan berkembang di daerah Sumatera Selatan termasuk Ogan hingga saat ini. Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya dalam menanggapi daya-daya kekuatan alam.[5] Mitos ini memberikan pedoman dan arah bagi suku Ogan dalam sikap tindak sehari-hari. Dalam kurun waktu tertentu, pemahaman dunia mistis eksis sebagai sarana kontrol sosial perilaku.
Secara teologis, kepercayaan masyarakat Ogan terhadap PUYANG dapat dipahami sebagaimana Theisme[6] dalam paham Allah. Sementara itu, puyang merujuk kepercayaan animisme.[7] Sedangkan penunggu, meskipun ia menghuni batu dan pohon tidak diyakini sebagaimana dinamisme[8] tetapi sebagai panenteisme dalam paham Allah. Sebutan ninek tidak bisa dipahami sebagai totemisme[9] karena sebutan itu bukan untuk menunjukkan garis keturunan dan menggali nilai-nilai melainkan agar tidak diganggu. Andaikan PUYANG tidak berpotensi mencelakakan, mungkin tidak seorang pun akan permisi kepadanya. Demikian juga penghormatan dengan identitas lainnya, rasa takut lebih dominan daripada rasa hormat.
Sense of religi masyarakat Ogan baik kepada PUYANG, puyang, penunggu, maupun ninek lebih cenderung ketakutan dibandingkan rasa hormat. Allah dipahami sebagai “pribadi”  tremendum et fascinosum.[10] Apakah PUYANG itu tremendum et fascinosum? PUYANG itu menakutkan karena ia berpotensi mencelakakan atau menyebabkan petaka. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat harus permisi kepada PUYANG. Kalau sudah sakit atau celaka, masyarakat harus mohon ampun kepadanya agar disembuhkan dan tidak mendapat celaka yang lebih besar. Dengan demikian, masyarakat Ogan menghormati PUYANG dalam ungkapan permisi dan sesaji karena takut.
            Seiring dengan berjalannya waktu dan masuknya agama-agama, mayoritas suku Ogan menganut agama Islam. Tahun 1947 di daerah Batu Putih suku Ogan mulai mengenal agama Katolik  melalui Pastor Theodorus Borst.Baptisan pertama sejumlah 24 orang pada tanggal 31 Oktober 1948. Hingga saat ini umat Katolik Suku Ogan, tercatat 987 jiwa.[11]

2. Sistem pengetahuan
            Sebagaimana layaknya suku-suku di Sumatera pada umumnya, pengetahuan diturunkan melalui tradisi lisan, terutama untuk mengetahui budaya yang masih tersembunyi. Potensi budaya ini meliputi sistem genealogi,kosmologi,  sejarah, filsafat, etika, moral, serta kaidah kebahasaan dan kesusateraan. [12]
Awalnya semua berasal dari mistis, dari “ kepercayaan”  yang diyakini sebagai kebenaran. Lalu hasrat manusia untuk tahu lebih banyak tentang segala hal membuatnya berinovasi terhadap diri dalam lingkungan sekitarnya. Maka kemudian berkembanglah pengetahuan yang diyakini sebagai ilmu. Misalnya pengetahuan tentang pengobatan dan penyembuhan: ilmu tumbuk, obat uluan, yang salah seorang sumbernya adalah jeme pacakh. Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan dianggap sebagai ilmu yang paling ampuh dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit meski secara logis berdasarkan ilmu medis tidaklah rasional. Misalnya : membuat api di tiang dangau (pondok di ladang) agar ketika dangau itu ditempati tidak ada nyamuk. Menancapkan duri hukam (rukam) di atas pintu kamar tempat perempuan hamil agar setelah kelahiran rahimnya cepat bersih (luput dari mehian isap = penyakit yang disebabkan oleh mengendapnya darah kotor di dalam rahim). Memakaikan banglai-jehangau kepada ibu hamil dan bayi agar tidak diganggu hantu. Banglai-jehangau juga dipakai untuk menenangkan bayi yang menangis.
Obat uluan adalah penyembuhan dengan obat-obatan herbal yang bisa dimengerti secara medis meskipun banyak yang belum diteliti. Misalnya kalau kepedasan (terkena cabai) di mata, lutut dan siku akan digosok-gosok dengan kunyit. Secara akunpuntur, susunan syarat di persendian yang digosok dengan kunyit akan meredakan rasa pedas. Contah lain, mislanya: Bujang tue (nangka kuning) untuk obat lever.
Dalam masyarakat Ogan, dukun atau jeme pacakh adalah pribadi yang mempunyai keyakinan ilmu tumbuk, berpengetahuan obat uluan, dan disertai kemampuan untuk berhubungan dengan berbagai kepercayaan-kepercayaan. Dukun kadang memakai obat uluan tetapi belum tentu perajin obat uluan itu dukun. Ketika sakit atau menghadapi petaka, masyarakat Ogan percaya atas keterlibatan identitas-identitas di atas apalagi kalau ilmu tumbuk dan obat uluan tidak membawa hasil yang diharapkan.
Konsep sesajen atau sesembahan berperan menyembuhkan dan kadang berbarengan digunakan dengan ilmu tumbuk dan obat uluan. Dalam masyarakat Ogan, sesajen terdiri dari makanan, minuman, kadang disertai dengan bunga-bunga, tembakau, kemenyan, dan kain. Upacara dilakukan secara personal (bukan publik). Sesembahan tidak membutuhkan kehadiran orang banyak, cukuplah jeme pacakh (kadang diwakili oleh orangtua atau orang yang dituakan) dan pribadi yang memohon. Bahkan sesaji pesta bisa dilakukan sendirian oleh tuan rumah pesta.
            Masyarakat Ogan memiliki kemampuan berbahasa verbal, membaca aksara,  orang-orang yang berada di luar lingkungan ogan. Semakin ke hilir, orang Ogan semakin halus. Maka ada filosofi dalam masyarakat Ogan, yaitu “daerah hulu sungai Ogan, tepian sungai Ogan agak kecil arus air deras berbatu dan berbukit, sedangkan di hilir tepian sungai Ogan lebar, air tenang tidak berbatu.”
            Dalam kehidupan sehari-hari, beberapa ajaran prinsip hidup yang diwariskan secara turun temurun, diantaranya :
a. Sebatangahi : rasa persaudaraan yang kuat. Menganggap semua penduduk di daerah aliran sungai adalah sudara
b. Jeme kite : bahwa setiap orang Ogan adalah suku yang selalu bersama
c. Sedulur : kesamaan keturunan
d. Sehuma setanak-an : saling berbagi sebagaimana layaknya tinggal dalam satu rumah, setiap yang dimasak diperuntukkan bagi semua orang
e. Sanak gale : menganggap semua yang memiliki relasi sosial dalam kehidupan sehari-hari apapun bentuknya adalah saudara.[13]
            Sebagaimana layaknya suku-suku di Sumatera pada umumnya, pengetahuan diturunkan melalui tradisi lisan, terutama untuk mengetahui budaya yang masih tersembunyi. Potensi budaya ini meliputi sistem genealogi,kosmologi dan kosmogeni, sejarah, filsafat, etika, moral, serta kaidah kebahasaan dan kesusateraan.  Cerita yang terkenal adalah “cerita Puyang”, disampaikan turun temurun, kadang disertai bukti sejarah berupa artefak benda-benda, tempat keramat yang merupakan tempat puyang-puyang.
            Menyangkut perkembangan dunia pendidikan, dewasa ini, masyarakat Ogan sudah maju. Artinya, telah mulai membangun kesadaran untuk mengenyam pendidikan formal. Berdasarkan statistic Paroki Batu Putih tahun 2014, masyarakat yang kuliah (D1-S2) 25%, rata-rata kuliah di luar daerah (80%), sedangkan yang kuliah di dalam daerah berkisar 20%. Pendidikan SLTA 25%, (50% sekolah di sekolah Yayasan Xaverius, 50% sekolah di negeri). Pendidikan SLTP 25%, (60% sekolah di sekolah Yayasan Xaverius, 40% sekolah di negeri). Pendidikan SD 25%, semuanya di sekolah Yayasan Xaverius.
3. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia
            Sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia yang khas dan dipakai oleh masyarakat Ogan adalah : 
            a. Pakaian / busana
            Baju kurung berkancing tiga adalah pakaian khas perempuan. Kain Tajung adalah pakaian lelaki. Pakaian-pakaian itu dipakai saat-saat penting, misalnya sunatan, lamaran, dan acara perkawinan. Kain Tajung adalah simbol kemapanan dan lambang kegembiraan. Kain tajung dipakai oleh orang bedanganan, yakni orang yang mempunyai status sosial, punya jabatan tertentu.
            Cara berpakaian adalah simbol status. Bagaiamanapun juga tingkat sosial (strata sosial) itu akan selalu ada di dalam masyarakat. Pengaruh pola hidup zaman kejayaan kerajaan menjadikan pola perilaku yang khas bagi setiap anggota masyarakat. Perbedaan Kain Tanjung yang dipakai bukan tanpa makna, tetapi dengan simbol status tersebut diharapkan bahwa yang berada di tingkat tertinggi memiliki kewajiban sebagai konsekuensi status sosial yaitu memberikan perlindungan strata di bawahnya.
            b. Rumah
            Masyarakat Ogan membangun rumah berbentuk rumah panggung dengan lantai bertingkat. Biasanya,  terdapat tiga tingkat.  Dalam acara-acara besar tingkatan tertinggi diperuntukkan untuk orang yang dituakan atau sangat penting dalam hajatan itu, misalnya untuk mendudukan mempelai. Tingkat kedua untuk keluarga pada umumnya. Tingkat yang paling rendah diperuntukkan untuk mereka yang berfungsi melayani dalam acara tersebut.
            Rumah panggung tidak disekat sebagaimana kamar-kamar dalam rumah modern. Hal ini menujukkan kebersamaan yang dibangun di dalam keluarga. Persoalan diselesaikan dengan musyawarah keluarga besar, kebahagiaan dinikmati bersama, hasil dibagi bersama. Ini juga menggambarkan keterbukaan masyarakat Ogan.
            Rumah untuk berkumpul warga adalah rumah krio (kades), biasanya lebih besar dan menonjol dibandingkan rumah pada umumnya. Rumah keluarga adalah rumah pribadi. Jarak rumah yang satu dengan rumah yang lain tidak beraturan, cenderung berdekatan dengan anggota keluarga yang lain. Masyarakat Ogan sangat mengagungkan kekeluargaan. Ada kecenderungan untuk mengutamakan orang-orang yang berasal dari satu garis keturunan. Sifat komunal, sosial, erat satu sama lain. Dalam sistem keamanan terdapat aturan yang diatur oleh krio dan dilaksanakan secara bergiliran. Petugas ini disebut kemit.
            c. Senjata
            Senjata khas suku Ogan adalah Pisau Sahungan yang menjadi simbol kelelakian. Maka, laki-laki Ogan selalu membawa pisau sahungan dipandang bukan lelaki (jantan). Pisau sahungan juga merupakan simbol kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah  kekuasaan sebagai lelaki yang diposisikan sebagai imam, penguasa dalam keluarga. Kekuasaan ini pun supreme diatas kekuasaan perempuan. Ini yang menyebabkan bahwa tak banyak perempuan Ogan yang berkiprah di luar rumah. Perempuan Ogan kebanyakan berkarya di seputar masalah domestik seputar keluarga.
            d. Perahu
            Terdapat dua jenis perahu, yakni perahu agung dan perahu biasa. Perahu Lanting dan Rakit. Lanting dibuat  dari batang-batang bambu. Rakit adalah susunan batang-batang bambu dalam jumlah lebih banyak Rakit biasanya guna membawa bambu ke hilir untuk dijual. Merupakan alat angkut berskala besar dan berjarak jauh.  Alat angkut yang lebih modern di sungai adalah Ketek.
            e.Angkung Kalat dan gerobak.
            Angkung Kalat adalah alat angkut tanpa roda, biasanya ditarik kerbau atau sapi. Sedangkan Gerobak adalah alat angkut dengan roda,  ditarik sapi atau kerbau. Di zaman ini orang banyak menggunakan  sepeda (kerite) dan motor.
            f. Peralatan pertanian: tengkuit, pisau sahungan. Peralatan nelayan: kambuh, sekhuwe, keluntang, ubai. Teknologi tidak banyak mengalami modifikasi.
4. Mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi
            Meski masyarakat Ogan tinggal di pesisir dan sepanjang aliran sungai, mata pencaharian pokok mereka adalah pertanian. Perkebunan kopi dan karet tersebar di lahan-lahan yang masih luas. Tanah cukup baik untuk menanam sayuran. Meski struktur tanah cukup baik untuk tinggal menetap dan bercocok tanam, masyarakat masih berpindah-pindah dan memanfaatkan hasil hutan/merambah hutan (eksploitasi). Masyarakat Ogan mengambil dan memanfaatkan rotan. Rotan yang sering dimanfaatkan adalah semambu(rotan besar) dan sehimit (rotan kecil). Orang Ogan juga memanfaatkan kayu dan bambu. Secara tradisional untuk mengambil kayu dan bambu punya ‘hitungan’ tersendiri, misalnya bulan sedang naik (terang) atau turun (gelap). Masyarakat Ogan juga memanfaatkan aren untuk mendapatkan ijuk dan untuk membuat gula.Masyarakat bercocok  tanam secara berpindah-pindah dan mengolah lahan secara tradisional, padi, sayur, dan buah-buahan.
            Selain bercocok tanam, mata pencaharian masyarakat Ogan adalah mencari ikan/nelayan di sungai. Sangat sedikit masyarakat Ogan yang berprofesi sebagai nelayan. Ikan sangat banyak banyak, belum berharga, dan dengan peralatan sederhana mudah mendapatkan ikan. Biasanya mencari ikan hanya dipandang sebagai selingan atau sarana untuk mendapatkan lauk untuk kebutuhan keluarga saja.
            Hasil merambah hutan diolah secara individu. Biasanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja, kadang dimasak dan dipermentasi untuk disimpan. Contohnya, durian dimasak menjadi lempok, diawetkan menjadi tempoyak. Ikan dipanggang, diawetkan menjadi kasam dan rusip. Hasil pertanian dijual dalam bentuk mentah (bahan baku). Tak jarang juga dilakukan barter dengan barang-barang konsumsi sehari-hari.

5. Sistem kemasyarakatan
            a. Stratifikasi 
            Masyarakat Ogan yang secara tradisional masih percaya dengan Puyang, maka silsilah dari Puyang ini membentuk sebuah garis kekerabatan hingga saat ini. Contohnya : di daerah Pengandonan Ogan Ulu Baturaja adalah keluarga besar yang diperanakkan oleh Pyang Kurungan Dewa dan istrinya Darma Sinto. Mereka memiliki keturunan yang tersebar menjadi suku-suku Ogan, yaitu
            1. Puyang pertama, Puyang Semengok di desa Pengandonan Baturaja
            2. Puyang kedua ke Ogan Ilir
            3. Puyang ketiga ke Semende Darat
            4. Puyang keempat ke Rambang dengan nama Semidang Sakti, puyang ini merupakan Puyang Ogan di Batu Putiah
            5.  Puyang kelima ke Bengkulu
            6. Puyang keenam ke Basemah Pagar Alam.
            Keturunan Puyang dianggap sebagai orang yang mengetahui banyak hal. Maka menduduki strata sosial atas dan dianggap sebagai tokoh adat. Lembaga Adat tidak terbentuk. Jika terjadi permasalahan adat akan diselesaikan dengan musyawarah keluarga. Ini dimungkinkan karena sistem kekerabatan sangat kental dan suku Ogan bukanlah suku yang avonturir. Sangat komunal dan komunitasnya tinggal di daerah yang berdekatan.
            b. Sistem perkawinan 
            Perkawinan bersifat eksogami. Adat perkawinan dikenal dengan nama “Ngunduh Mantu”. Ngunduh mantuu merupakan bentuk perkawinan dimana pihak laki-laki mengunduh (mengambil) mempelai perempuan setelah memenuhi degadaian ( persyaratan) berbentuk mas kawin berupa wajik (pelak).
            Proses perkawinan Ngunduh Mantu terdiri dari :
1.      Mintak status
Pada tahap ini calon mempelai laki- laki datang sendirian ke rumah pihak perempuan untuk menanyakan apakah sudah boleh untuk datang bersama kedua orang tua dengan tujuan masati rasan (menentukan kelanjutan hubungan). Jika diperbolehkan akan berlanjut pada tahapan berikutnya.
2.      Masati rasan
Setelah mendapat ijin dari kedua orang tua pihak perempuan, maka pihak laki- laki datang kembali bersama kedua orang tua kerumah pihak perempuan untuk memastikan apakah benar antara anaknya (pihak laki- laki) menjalin hubungan dengan anak dari pihak perempuan (masati rasan)
3.      Tendang malam
Setelah mendapat jawaban dari pihak perempuan pada waktu yang telah disepakati bersama. Keluarga pihak laki- laki datang kembali kerumah pihak perempuan untuk melakukan lamaran (madukan rasan). Dalam kesempatan ini pihak laki- laki memberikan kesempatan kepada pihak perempuan untuk mengemukakan apa saja yang diingini oleh pihak perempuan (degedaian) biasanya berupa permintaan untuk membawa wajik (pelak) dan mas kawin. Dan apabila keluarga pihak laki- laki sanggup memenuhinya maka pihak laki- laki mengajukan permintaan untuk memilih waktu yang tepat untuk pelaksanaan akad nikah dan pesta pernikahan agar terjadi kesepakatan (mutuskan kate). Pihak laki- laki juga meminta waktu untuk datang kembali  guna memenuhi permintaan pihak perempuan.
4.      Ngantatkan seserahan
Sesuai dengan waktu yang telah disepakati pihak laki- laki datang kembali bersama pemuka adat dengan membawa mukun (rantang besi) yang berisi wajik(pelak)  dan membawa mas kawin yang dikehendaki pihak perempuan serta sejumlah uang sebagai bentuk bantuan dana dalam pelaksanaan sedekah nanti.
5.      Nunggalkan ngesanak (pertemuan kerabat)
Nunggalkan ngesanak merupakan suatu pertemuan antar semua kerabat dimana dalam pertemuan ini orang tua calon pengantin menyampaikan bahwa akan melangsungkan pernikahan anaknya. Jadi disini pihak keluarga mohon bantuan untuk memperlancar proses tersebut yaitu dengan jalan meminta kerabat bersedia hentauan (menyediakan hidangan/makanan di rumah masing- masing) pada saat payuan (sedekah)
6.      Napai
Berdasarkan waktu yang telah disepakati maka 2 (dua) hari sebelum upacara pernikahan semua anggota keluarga laki-laki berkumpul dirumah calon memepelai laki- laki untuk membahas dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan saat upacara pernikahan nanti.
Dilain pihak, dua atau tiga orang (biasanya bujang) ditugaskan oleh keluarga mempelai untuk menyampaikan niat atau keinginan akan mengadakan sedekah pernikahan pada tanggal yang telah disepakati masyarakat ogan menyebutnya ngajak. Orang yang diberi tugas wajib mendatangi semua rumah warga kampung guna menyampaikan hal tersebut. Dan warga diminta untuk membantu pekerjaan- pekerjaan rumah tangga di rumah keluarga mempelai pada saat ngukus dan datang kembali saat payuan untuk merayakan pesta perkawinan secara bersama- sama.
7.      Ngukus (Masak- memasak)
ngukus adalah sehari sebelum upacara pernikahan. Pada hari ini juga dilakukan akad nikah (bambangan) dan ijab Kabul di depan saksi dan dicatat secara hukum guna mendapatkan akta nikah serta pernikahan itu dianggap sah secara hukum adat dan hukum negara. Semua keluarga dan penduduk desa datang kerumah si empunya hajat dengan membawa tumbu (baskom kecil) yang berisi beras dan kelapa serta ayam atau telur sebagai bentuk solidaritas warga ogan. Ibu- ibu memasak bersama dan bapak- bapak memotong hewan seperti ayam, kambing, atau sapi untuk dimasak oleh ibu- ibu sebagai lauk dalam upacara pernikahan yang dilaksanakan esok harinya.
Pada hari ini juga muda-mudi yang ada di desa itu  saling membantu dalam membuat dekorasi (hiasan tambahan) untuk memperindah rumah pengantin. Saat inilah terjadi keakraban antara muda-mudi kampung.

8.      Payuan (Sedekah)
Setelah melakukan persiapan yang matang maka tibalah saat upacara pernikahan (payuan). Pengantin mengenakan pakaian adat sumatera selatan berupa songket. Saat payuan ini semua kerabat berkumpul di rumah pengantin. Pada hari ini terdapat juga acara- acara khas masyarakat ogan antara lain pantauan yaitu tamu undangan di ajak kerumah sanak keluarga pengantin untuk makan siang. Sedangkan semua sanak keluarga dekat yang turut membantu keluarga pengantin dengan jalan menyiapkan hidangan di rumah masing- masing disebut hentauan. Hidangan ini diperuntukan bagi tamu undangan yang hadir. Ini merupakan bentuk solidaritas kerabat.
Pihak mempelai pria biasanya mengajak keluarga dari pihak nenek si pengantin pria untuk datang. Kemudian pihak keturunan nenek tersebut mengajak orang terdekat untuk bersama- sama datang kerumumah pengantin. Ini dinamakan panggilan. Setiap orang yang dipanggil wajib membawa bakul yang berisi kain dan takung (semacam tiker) untuk diserahkan kepada keluarga pengantin. Setelah acara sedekah selesai pada waktu pulang para anggota panggilan tadi diberi bungkusan berupa nasi dan lauk secukupnya sebagai tanda terima kasih.
9.      Pembubaran Panitia
setelah semua acara selesai, pada malam harinya semua anggota keluarga diajak berkumpul kembali dirumah pengantin. Pada kesempatan ini orang tua pengantin mengucapkan terima kasih dan makan malam bersama.[14]
            Dalam hal kemasyarakatan, Ogan Ulak-an lebih banyak dipengaruhi buadaya Komering Palembang sedangkan Ogan Uluan masih berpola masyarakat Semendo.
           c. Sistem pemerintahan dalam masyarakat
                       Secara umum, pemerintahan di Sumatera merupakan campuran sistem Patriakhi dan Feodal[15]. Seorang pemimpin taat pada aturan adat. Dominasi laki-laki menyebabkan  ketertutupan pada pemimpin perempuan. Hal ini perpengaruh hingga saat ini di mana kaum perempuan jarang tampil sebagai pemuka masyarakat.

6. Bahasa
            Bahasa suku Ogan mirip dengan bahasa Malaysia, dituturkan oleh penduduk yang tinggalnya di pesisir atau di tepian sungan Ogan. Bahasa Ogan memiliki banyak ragam, merupakan bahasa pergaulan yang berbeda di setiap dusun kecil yang tersebar sepanjang pesisir dan tepian sungai tersebut. Misalnya Bahasa Ulu ogan di daerah Kelumpang, Ogan Ulu (daerah Pengan donan), Ogan Baturaja (kota Baturaja), Ogan ilir (daerah Lubuk Batang dan Muara Kuang), bahasa di dusun Muara Penimbang , Talang Aur, Air Itam, Sungai Pinang, Tanjung Raje. Semakin ke hulu, logat (intonasi) akan terdengar keras. Semakin ke hilir makin halus dan terdengar berirama.
            Suku Ogan memiliki kemampuan yang baik dalam menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi dengan masyarakat, baik dalam komunitas internal maupun eksternal (masyarakat dusun tetangga). Hal ini tampak pada kebiasaan berbalas pantun. Berbalas pantun juga menjadi bagian dari kesenian khas suku Ogan.Dalam keseharian bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pengantar, meskipun suku Ogan lebih banyak menggunakan bahasa daerah karena dirasa lebih komunikatif dan lebih mudah dipahami.

7.  Kesenian.
            Kesenian yang terkenal dari suku Ogan ini adalah TERBANGAN, yang memadukan seni gerak dan vocal Rudat, berbalas pantun dan bertutur. Berbalas pantun dan bertutur ini sebenarnya mencerminkan adanya potensi untuk berelasi secara luas dengan masyarakat luar suku Ogan. Tetapi pada kenyataannya , keterikatan pada hal-hal primordial menjadikan suku Ogan belum sepenuhnya mau mebuka diri dan kompetitif.
            Tari-tarian dan kesenian TERBANGAN ini digunakan untuk penyambutan tokoh masyarakat dan perayaan yang dianggap penting. Rudat sebenarnya merupakan bentuk explorasi gerakan pencak silat local yang pada perkembangannya dikreasikan sesuai dengan tema acara dimana Rudat akan ditampilkan.
            Dari ketujuh unsur budaya universal tersebut, hanya sedikit gambaran yang diperoleh dari masyarakat Ogan. Masih diperlukan studi lanjut secara empirik agar mampu menjawab berbagai tantangan di segala sektor kehidupan. Secara umum, hal yang menarik  dalam perkembangan masyarakat  adalah praktek hubungan sosial antar desa. Adat kebiasaan yang terpelihara merupakan hukum rakyat yang menghasilkan tertib pergaulan.[16]
            Spiritualitas yang hidup di masyarakat Ogan adalah kebersamaan, persaudaraan, keluarga sebagai tiang utama tata pergaulan. Hal ini tampak pada prisip hidup yang sering dikemukakan, yaitu : Sebatangahi , Jeme kite, Sedulur Sehuma setanak-an , Sanak gale . Di satu sisi baik bagi pengembangan potensi secara internal, tetapi di sisi lain , ikatan primordial akan menyebabkan pesimis ketika berada atau harus berelasi dengan orang “diluar” dari yang dianggap “saudara / keluarga”.
            Musyawarah, menjadi satu cara penyelesaian konflik. Hal ini tampak pada kegiatan yang dibangun di rumah yang tak bersekat yang diperuntukkan bagi keluarga. Berada dalam lingkup keluarga memiliki mata pencaharian dengan orientasi hanya bagi kebutuhan makan minum keluarga menjadikan suku Ogan merasa cukup puas dan enggan untuk berupaya atau berinovasi lebih lagi. Nilai – nilai kearifan local banyak kemiripan dengan suku Melayu pada umumnya. Dalam konteks ruang dan waktu, perubahan sosial struktur sosial dan proses sosial berlangsung lambat[17]. Hal ini dapat saja terjadi karena pengaruh faktor geografis, faktor demografi serta faktor klimatologi yang stabil. Situasi social jarang mengalami pergolakan, karena secara ekonomi terasa telah berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidup yakni memiliki rumah dan cukup makan. Situasi stabil tanpa pergolakan ini mengurangi kreatifitas alam bekompetisi, sehingga perkembangan sosial pun agak lambat. [18]

Catatan akhir
Tulisan ini hanya sedikit menyingkap keunikan di balik cadar yang menyelubungi budaya Ogan yang begitu mempesona. Mungkin juga tak bisa mewakili nilai instrinsik yang jauh lebih indah yang tersimpan dalam kebudayaan Ogan. Besar harapan untuk adanya penelitian atau telaah ilmiah tentang budaya ini yang tentunya akan memperkaya khasanah budaya, bermanfaat bagi kemajuan masyarakat setempat serta secara khusus berguna bagi reksa pastoran di paroki Sang Penebus Batuputih.
Terimakasih kepada semua pihak yang bersama-sama berupaya membuat terang tabir Ogan. Kalau bukan kita yang mencintai budaya kita sendiri siapa lagi. Semoga bermanfaat.

KEPUSTAKAAN
Irohmi,2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta : Obor
Jenks, Chris, 2013, Culture Studi Kebudayaan, Yogyakarta Pustaka Pelajar
Manners, Rpbert.A, 2012,Teori Kebudayaan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Martono, Nanang, 2012, Sosiologi perubahan Sosial Perpektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, Jakarta, Raja Grafindo Persada
Marsden, William, 2013, Sejarah Sumatera, Jakarta : Komunitas Bambu
Ritzer, George, 2012,  Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terkahir Postmodern,Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Saptomo,Ade, 2010,  Hukum dan Kearifan Lokal, Jakarta:Grasindo
Peursen, Van, 2013, Strategi Kebudayaan,  Yogyakarta : Kanisius

Diakses 8 September 2014 :
Handoko, Elis,  http://www.hidupkatolik.com/2012/02/13/terbangan-ogan-katolik-di-batu-putih#sthash.ILzEAzM
Sedyawati,Edy, http://kampoengilir.blogspot.com
http//kapanpulang.blogspot.com/2012/suku-suku-di-sumatera-selatan.html



[1] http//kapanpulang.blogspot.com/2012/suku-suku-di-sumatera-selatan.html
[2] Lihat, www.e-jurnal.com/2013/10/unsur-unsur-kebudayaan.html
[3] Informasi berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan Suku Ogan ini diperoleh dari wawancara dan diskusi dengan beberapa orang Ogan Katolik di desa Batuputih.
[4]Panenteisme (dari bahasa Yunani πᾶν (pân) "semua"; ἐν (en) "dalam"; dan θεός (theós) "Tuhan"; "semua dalam Tuhan") adalah kepercayaan yang menyatakan bahwa Tuhan ada dan meresapi setiap bagian dari alam. Panenteisme berbeda dari panteisme, yang percaya bahwa Tuhan sinonim dengan materi alam semesta.[1] Singkatnya, panteisme menyatakan "Tuhan adalah semua", sementara panenteisme menyatakan "semua ada dalam Tuhan". Dalam panenteisme, Tuhan belum tentu dipandang sebagai pencipta, tetapi lebih sebagai penggerak alam semesta, sementara beberapa versi menyatakan bahwa alam semesta tidak lebih dari bagian nyata dari Tuhan. Panenteisme mengklaim bahwa Tuhan lebih besar dari alam semesta, dan beberapa versi menyatakan bahwa alam semesta ada dalam Tuhan. Agama Hindu memiliki ciri panenteisme dan panteisme.
[5] Van Peursen, Strategi Kebudayaan,  Yogyakarta : Kanisius , 2013, hlm.37 
[6]Teisme, dalam penggunaannya yang paling luas, adalah kepercayaan terhadap satu dewa. Beberapa penggunaan lebih kecil menjelaskan bahwa dewa berada dalam entitas yang dapat dikenali tapi berbeda, sama dengan panteisme. Penggunaan kecil lainnya mengatakan bahwa dewwa adalah kekuatan eksistensi di alam semesta, dan tidak termasuk sejenis bentuk deisme. Teisme dapat dikelompokkan menjadi banyak jenis, seperti monoteisme (dimana kata Tuhan dikapitalkan) dan politeisme.
[7] Animisme  adalah kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang.
[8] Istilah dinamisme berasal dari kata dinamo artinya kekuatan. Dinamisme adalah paham/kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci.
[9] Istilah totemisme berasal dari kata Ojibwa (suku Algonkin dari Amerika Utara), ditulis secara beragam, totem, tatam, dan dodaim. Totem klan tertentu dapat berupa burung, ikan, binatang, atau tumbuh-tumbuhan tertentu. Kepercayaan totemisme biasanya diikuti dengan beberapa aturan terkait totem yang mereka percayai, misalnya, komunitas tidak boleh menyakiti, membunuh atau memakan binatang yang dianggap sebagai totem. Totem dipuja, dihormati atau disakralkan karena berhubungan dengan klan tersebut. Dongeng tertentu biasanya mengaitkan totem tersebut karena berhubungan dengan eksistensi komunitasnya, biasanya diwarisi dari nenek moyang mereka. Totemisme lazim hidup di Afrika, Amerika dan banga-bangsa di Kepulauan Pasifik. Banyak suku di Amerika kemudian membentuk simbol totem mereka pada patung maupun ukiran kayu. Menurut Émile Durkheim, totemisme tidak bersifat individual, selalu terkait dengan nilai komunitas. Di Autralia misalnya, mereka mempercayai totem binatang tertentu karena binatang tersebut melambangkan kesatuan di antara anggota suku mereka. Nilai-nilai yang diyakini baik yang ada pada totem binatang tersebut kemudian dihayati dan dipakai sebagai panduan nilai moral dalam hidup bersama.
[10]Yang pertama, manusia merasa gentar. Allah dialami dan dirasakan manusia sebagai sesuatu yang dasyat, sangat berkuasa, tak terhampiri, kudus, luar biasa keagunganNya. Manusia merasakan hal seperti ini ketika berhadapan dengan kematian, merenungkan kebesaran dan keindahan alam semesta ciptaaan Tuhan, bencana alam, gerhana dan sebagainya. Di hadapan hal seperti itu, manusia merasa dirinya kecil dan tak berdaya. Tuhan adalah “ Pribadi” yang menggentarkan atau mysterium Tremendum (kata latin Tremendum berarti: mendahsyatkan atau menggentarkan). Kedua, manusia merasa tertarik dan terpesona. Allah dialami atau dirasakan sebagai “Pribadi” yang baik, penuh kasih, peduli, menyenangkan, menenteramkan dan menakjubkan. Manusia merasakan hal seperti itu ketika berhadapan dengan peristiwa kelahiran, kesembuhan, kesuksesan, hasil panen, pergantian malam dan siang, pergantian musim, pertolongan dan penyertaan Tuhan dalam hidupnya dan lain sebagainya. Dihadapan Allah yang seperti itu manusia merasa damai  dan bahagia. Allah dilihat manusia sebagai “Pribadi” yang menggemarkan atau mysterium fascinosum (kata latin fascinans berarti mengasyikkan atau menggemarkan). Jadi, Tuhan dilihat sebagai kuasa yang menggentarkan tetapi sekaligus juga yang menggemarkan. Konsep inilah yang disebut Numinosum tremendum et fascinosum; yang dikembangkan oleh Rudolf Otto, seorang ahli teologi agama-agama yang jauh sebelum itu, Augustinus, seorang Bapa Gereja yang hidup pada abad ke-4, sudah menyatakannya.
[11] Elis Handoko, http://www.hidupkatolik.com/2012/02/13/terbangan-ogan-katolik-di-batu-putih#sthash.ILzEAzM
[12] Edy Sedyawati,http://kampoengilir.blogspot.com
[13] Wandry Paklevi, http://wandryogans.blogspot.com/2010/08/ogan-mania.html
[14] Wawancara dengan ibu Fatimah , 2April 2010
[15] William Marsden, Sejarah Sumatera, Jakarta : Komunitas Bambu, 2013, hlm 246-247
[16] Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal, Jakarta:Grasindo,2010
.[17] Nanang Martono, Sosiologi perubahan Sosial Perpektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012, hlm 2-3
[18] Dahrendorf dalam George Ritzer,  Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terkahir Postmodern,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012

1 komentar:

  1. terimakasih! sangat membantu untuk mengerjakan tugas sekolah ;)

    BalasHapus