PESONA DI BALIK CADAR OGAN
Suku Ogan adalah suku tua di
Sumatera Selatan yang menyebar di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering
Ilir. Manusia ogan mendiami sepanjang aliran sungai Ogan dari Baturaja hingga
Selapan. Orang Ogan disebut juga orang Pegagan. Suku ini terbagi menjadi Suku
Ulu, Suku Penesak dan Suku Pegagan Ilir.[1]
Ogan,
sebagai salah satu suku asli di Sumatera Selatan ini telah merupakan suatu
kekayaan Indonesia yang harus dijaga. Meski peradaban bangsa seolah melebur
pada budaya global yang dalam banyak sisi menawarkan aneka pesona kehidupan
cosmopolitan, tetapi keunikan budaya sebagai basis terbentuknya sebuah
masyarakat justru memiliki makna dan nilai-nilai yang tidak bisa diabaikan
begitu saja.
Minimnya tulisan
tentang Ogan, menjadi salah satu indikasi akan tergerusnya Ogan oleh
nilai-nilai global. Terkait dengan hal ini, dengan
data yang sangat minim, karya ini mencoba untuk mengenal lebih jauh lagi
bagaimana sesungguhnya suku Ogan , hingga kemudian bersama-sama menemukan hal-hal yang tersembunyi yang
menjiwai masyarakat sehingga tetap eksis sebagai suku yang berbudaya, sebagai
bagian dari kekayaan Indonesia.
Tulisan
ini melakukan telaah terhadap 7 (tujuh) unsur kebudayaan universal yang juga
ada dalam budaya Ogan.[2] Dari catatan-catatan ini diharapkan
dapat menjadi catatan awal bagi perkembangan penelitian selanjutnya sesuai
konteks dan kebutuhan.[3]
1.
Sistem kepercayaan (sistem religi)
Suku
Ogan sebagai bagian dari suku-suku di Sumatera Selatan secara tradisional masih
mempercayai adanya Puyang. Puyang dipahami dalam dua pengertian. Dalam arti pertama (ditulis dengan “PUYANG” ), PUYANG adalah
nama yang digunakan oleh masyarakat Ogan untuk menyebut identitas yang
menjadikan dan menguasai alam semesta. Menurut masyarakat Ogan, PUYANG hadir di
mana-mana, dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam arti
kedua (ditulis dengan “Puyang”), Puyang adalah identitas yang merujuk
leluhur (nenek moyang), tokoh yang membuka daerah tersebut, atau tokoh yang
mempunyai kewibawaan dan kesaktian. Karena kewibawaannya, lama setelah
meninggal pun puyang tetap diakui
keberadaannya. Bahkan, roh puyang
mendiami suatu tempat yang biasanya diyakini sebagai kuburan yang bersangkutan.
Baik PUYANG maupun puyang berpotensi mencelakakan atau menimbulkan penyakit
tetapi juga dapat menyembuhkan.
Selain itu,
masyarakat Ogan juga mengenal identitas penunggu, berbagai sebutan untuk ninek,
dan hantu. Penunggu adalah obyek imajiner yang juga berpotensi mencelakakan atau menyembuhkan yang mendiami
suatu tempat, misalnya bulukh-an, batang ahi, pohon besar, batu besar, dan
persimpangan jalan. Meskipun tidak sepenuhnya tepat, kadang kala penunggu
disamakan dengan puyang. Puyang pastilah penunggu suatu tempat tetapi penunggu
belum tentu puyang. Penunggu juga sering disebut sebagai PUYANG sebagaimana panenteisme dalam paham Allah.[4]
Ninek adalah sebutan untuk penguasa
hutan atau harimau pada umumnya. Sebetulnya, ninek adalah panggilan cucu kepada
kakeknya (bahasa Indonesia “kakek”)
atau panggilan hormat kepada orang yang sudah sepuh (bahasa Jawa “mbah”). Bagi masyarakat Ogan, tabu
untuk menyebut namanya secara langsung. Sebutan ninek adalah kombinasi rasa
hormat sekaligus takut. Dengan menyebut ninek,
orang Ogan percaya harimau itu tidak akan mencelakakan. Sense sebutan ninek untuk harimau lebih
menunjukkan rasa takut daripada rasa hormat. Andaikan harimau itu tidak
menakutkan belum tentu ia dihormati dengan sebutan ninek.
Masyarakat Ogan juga mengenal sebutan
berbagai macam hantu, misalnya hantu ayakh (hantu
air) dan hantu hutan. Hantu adalah roh mendiami suatu tempat. Berbeda
dengan PUYANG, puyang, penunggu, atau ninek, sifat hantu selalu jahat atau
mencelakakan. Di sungai, hantu menyebabkan orang hanyut. Di hutan, hantu
menyebabkan orang tersesat. Karena itu hantu ditakuti dan dijauhi. Bagi
masyarakat Ogan, bertemu hantu berarti petaka.
Dalam kehidupan sehari-hari terbatinkan ungkapan “permisi”
(Yang-yang, numpang …). Kalau tidak
permisi, mereka khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya sakit.
Ketika pesta upacara sesaji disajikan untuk mengundang dan mohon restu kepada
puyang, leluhur, dan sanak keluarga yang sudah meninggal. Tujuan sesaji itu
agar pesta tidak diganggu. Upacara sesaji dalam pesta bisa diabaikan. Upacara
sesaji harus terjadi kalau sakit atau kemalangan yang tak tersembuhkan. Ketika
sakit atau sedang mengalami kemalangan, orang Ogan
melakukan sesaji dengan tujuan rekonsiliasi atau permohonan ampun. Yang diberi
sesaji adalah PUYANG, puyang, dan para penunggu. Upacara sesaji menunjukkan
pengakuan kekuasaan dan ketakutan terhadap yang berkuasa. Yang paling berkuasa di antaranya adalah PUYANG
Mitos tentang Puyang ini cukup
banyak dan berkembang di daerah Sumatera Selatan termasuk Ogan hingga saat ini.
Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman
untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta mengambil
bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya dalam menanggapi daya-daya kekuatan
alam.[5]
Mitos ini memberikan pedoman dan arah bagi suku Ogan dalam sikap tindak
sehari-hari. Dalam kurun waktu tertentu, pemahaman dunia mistis eksis sebagai
sarana kontrol sosial perilaku.
Secara teologis,
kepercayaan masyarakat Ogan terhadap PUYANG dapat dipahami sebagaimana Theisme[6] dalam paham
Allah. Sementara itu, puyang merujuk kepercayaan animisme.[7] Sedangkan
penunggu, meskipun ia menghuni batu dan pohon tidak diyakini sebagaimana
dinamisme[8] tetapi sebagai panenteisme dalam paham Allah. Sebutan ninek
tidak bisa dipahami sebagai totemisme[9]
karena sebutan itu bukan untuk menunjukkan garis keturunan dan menggali
nilai-nilai melainkan agar tidak diganggu. Andaikan PUYANG tidak berpotensi mencelakakan, mungkin tidak
seorang pun akan permisi kepadanya. Demikian juga penghormatan dengan identitas
lainnya, rasa takut lebih dominan daripada rasa hormat.
Sense of religi masyarakat Ogan baik kepada PUYANG, puyang, penunggu, maupun ninek lebih
cenderung ketakutan dibandingkan rasa hormat. Allah dipahami sebagai “pribadi” tremendum
et fascinosum.[10] Apakah PUYANG itu tremendum
et fascinosum? PUYANG itu
menakutkan karena ia berpotensi mencelakakan atau menyebabkan petaka. Dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat harus permisi kepada PUYANG. Kalau sudah
sakit atau celaka, masyarakat harus mohon ampun kepadanya agar disembuhkan dan
tidak mendapat celaka yang lebih besar. Dengan demikian,
masyarakat Ogan menghormati PUYANG dalam ungkapan permisi dan sesaji karena
takut.
Seiring dengan berjalannya waktu dan
masuknya agama-agama, mayoritas suku Ogan menganut agama Islam. Tahun 1947 di
daerah Batu Putih suku Ogan mulai mengenal agama Katolik melalui Pastor Theodorus Borst.Baptisan
pertama sejumlah 24 orang pada tanggal 31 Oktober 1948. Hingga saat ini umat
Katolik Suku Ogan, tercatat 987 jiwa.[11]
2. Sistem
pengetahuan
Sebagaimana layaknya suku-suku di
Sumatera pada umumnya, pengetahuan diturunkan melalui tradisi lisan, terutama
untuk mengetahui budaya yang masih tersembunyi. Potensi budaya ini meliputi
sistem genealogi,kosmologi, sejarah, filsafat, etika, moral, serta kaidah
kebahasaan dan kesusateraan. [12]
Awalnya semua berasal dari mistis, dari
“ kepercayaan” yang diyakini sebagai
kebenaran. Lalu hasrat manusia untuk tahu lebih banyak tentang segala hal
membuatnya berinovasi terhadap diri dalam lingkungan sekitarnya. Maka kemudian
berkembanglah pengetahuan yang diyakini sebagai ilmu. Misalnya pengetahuan
tentang pengobatan dan penyembuhan: ilmu
tumbuk, obat uluan, yang salah seorang sumbernya adalah jeme pacakh. Pengetahuan yang bersumber
dari kepercayaan dianggap sebagai ilmu yang paling ampuh dalam pencegahan dan
penyembuhan penyakit meski secara logis berdasarkan ilmu medis tidaklah
rasional. Misalnya : membuat
api di tiang dangau (pondok di ladang) agar
ketika dangau itu ditempati tidak ada nyamuk. Menancapkan duri hukam (rukam) di atas pintu kamar tempat
perempuan hamil agar setelah kelahiran rahimnya cepat bersih (luput dari mehian isap = penyakit yang disebabkan oleh mengendapnya darah kotor di
dalam rahim). Memakaikan banglai-jehangau kepada ibu hamil dan bayi agar tidak diganggu
hantu. Banglai-jehangau juga dipakai
untuk menenangkan bayi yang menangis.
Obat uluan
adalah penyembuhan dengan obat-obatan herbal yang bisa dimengerti secara medis meskipun banyak yang belum diteliti.
Misalnya kalau kepedasan (terkena cabai) di mata, lutut dan siku akan
digosok-gosok dengan kunyit. Secara akunpuntur, susunan syarat di persendian
yang digosok dengan kunyit akan meredakan rasa pedas. Contah lain, mislanya: Bujang tue (nangka
kuning) untuk obat lever.
Dalam masyarakat Ogan, dukun atau jeme pacakh adalah pribadi yang
mempunyai keyakinan ilmu tumbuk, berpengetahuan obat uluan, dan disertai
kemampuan untuk berhubungan dengan berbagai kepercayaan-kepercayaan. Dukun
kadang memakai obat uluan tetapi belum tentu perajin obat uluan itu dukun. Ketika sakit
atau menghadapi petaka, masyarakat Ogan percaya atas keterlibatan identitas-identitas
di atas apalagi kalau ilmu tumbuk dan obat uluan tidak membawa hasil yang
diharapkan.
Konsep sesajen atau sesembahan berperan
menyembuhkan dan kadang berbarengan digunakan dengan ilmu tumbuk dan obat
uluan. Dalam masyarakat Ogan, sesajen terdiri dari makanan, minuman, kadang
disertai dengan bunga-bunga, tembakau, kemenyan, dan kain. Upacara dilakukan
secara personal (bukan publik). Sesembahan tidak membutuhkan kehadiran orang
banyak, cukuplah jeme pacakh (kadang
diwakili oleh orangtua atau orang yang dituakan) dan pribadi yang memohon.
Bahkan sesaji pesta bisa dilakukan sendirian oleh tuan rumah pesta.
Masyarakat Ogan memiliki kemampuan
berbahasa verbal, membaca aksara,
orang-orang yang berada di luar lingkungan ogan. Semakin ke hilir, orang
Ogan semakin halus. Maka ada filosofi dalam masyarakat Ogan, yaitu “daerah hulu sungai Ogan, tepian sungai Ogan
agak kecil arus air deras berbatu dan berbukit, sedangkan di hilir tepian
sungai Ogan lebar, air tenang tidak berbatu.”
Dalam kehidupan sehari-hari,
beberapa ajaran prinsip hidup yang
diwariskan secara turun temurun, diantaranya :
a.
Sebatangahi : rasa persaudaraan yang
kuat. Menganggap semua penduduk di daerah aliran sungai adalah sudara
b.
Jeme kite : bahwa setiap orang Ogan
adalah suku yang selalu bersama
c. Sedulur : kesamaan keturunan
d.
Sehuma setanak-an : saling berbagi
sebagaimana layaknya tinggal dalam satu rumah, setiap yang dimasak
diperuntukkan bagi semua orang
e.
Sanak gale : menganggap semua yang
memiliki relasi sosial dalam kehidupan sehari-hari apapun bentuknya adalah
saudara.[13]
Sebagaimana layaknya suku-suku di
Sumatera pada umumnya, pengetahuan diturunkan melalui tradisi lisan, terutama
untuk mengetahui budaya yang masih tersembunyi. Potensi budaya ini meliputi
sistem genealogi,kosmologi dan kosmogeni, sejarah, filsafat, etika, moral,
serta kaidah kebahasaan dan kesusateraan.
Cerita yang terkenal adalah “cerita Puyang”, disampaikan turun temurun,
kadang disertai bukti sejarah berupa artefak benda-benda, tempat keramat yang
merupakan tempat puyang-puyang.
Menyangkut perkembangan dunia
pendidikan, dewasa ini, masyarakat Ogan sudah maju. Artinya, telah mulai
membangun kesadaran untuk mengenyam pendidikan formal. Berdasarkan statistic
Paroki Batu Putih tahun 2014, masyarakat yang kuliah (D1-S2) 25%, rata-rata kuliah di luar daerah (80%),
sedangkan yang kuliah di dalam daerah berkisar 20%. Pendidikan SLTA 25%, (50%
sekolah di sekolah Yayasan Xaverius, 50% sekolah di negeri). Pendidikan SLTP
25%, (60% sekolah di sekolah Yayasan Xaverius, 40% sekolah di negeri).
Pendidikan SD 25%, semuanya di sekolah Yayasan Xaverius.
3. Sistem
peralatan dan perlengkapan hidup manusia
Sistem peralatan dan perlengkapan
hidup manusia yang khas dan dipakai oleh masyarakat Ogan adalah :
a. Pakaian / busana
Baju
kurung berkancing tiga adalah pakaian khas perempuan. Kain Tajung adalah pakaian lelaki.
Pakaian-pakaian itu
dipakai saat-saat penting, misalnya sunatan, lamaran, dan acara perkawinan. Kain Tajung
adalah simbol kemapanan dan lambang kegembiraan. Kain tajung dipakai oleh orang bedanganan, yakni orang yang mempunyai status sosial, punya jabatan
tertentu.
Cara berpakaian adalah simbol status. Bagaiamanapun juga tingkat sosial
(strata sosial) itu akan selalu ada di dalam masyarakat. Pengaruh pola hidup
zaman kejayaan kerajaan menjadikan pola perilaku yang khas bagi setiap anggota
masyarakat. Perbedaan Kain Tanjung yang dipakai bukan tanpa makna, tetapi
dengan simbol status tersebut diharapkan bahwa yang berada di tingkat tertinggi
memiliki kewajiban sebagai konsekuensi status sosial yaitu memberikan
perlindungan strata di bawahnya.
b.
Rumah
Masyarakat Ogan membangun rumah berbentuk rumah panggung dengan lantai
bertingkat. Biasanya, terdapat tiga tingkat. Dalam acara-acara besar tingkatan
tertinggi diperuntukkan untuk orang yang dituakan atau sangat penting dalam
hajatan itu, misalnya untuk mendudukan mempelai. Tingkat kedua untuk keluarga
pada umumnya. Tingkat yang paling rendah diperuntukkan untuk mereka yang
berfungsi melayani dalam acara tersebut.
Rumah panggung tidak
disekat sebagaimana kamar-kamar dalam rumah modern. Hal ini menujukkan
kebersamaan yang dibangun di dalam keluarga. Persoalan diselesaikan dengan
musyawarah keluarga besar, kebahagiaan dinikmati bersama, hasil dibagi bersama.
Ini juga menggambarkan keterbukaan masyarakat Ogan.
Rumah
untuk berkumpul warga adalah rumah krio (kades), biasanya lebih
besar dan menonjol dibandingkan rumah pada umumnya. Rumah keluarga adalah rumah pribadi. Jarak rumah yang satu dengan rumah yang
lain tidak beraturan, cenderung berdekatan dengan anggota
keluarga yang lain. Masyarakat Ogan sangat mengagungkan kekeluargaan. Ada
kecenderungan untuk mengutamakan orang-orang yang berasal dari satu garis
keturunan. Sifat komunal, sosial, erat satu sama lain. Dalam sistem keamanan terdapat aturan yang diatur oleh
krio dan dilaksanakan secara bergiliran. Petugas ini disebut kemit.
c. Senjata
Senjata
khas suku Ogan adalah Pisau Sahungan yang menjadi simbol kelelakian. Maka, laki-laki Ogan selalu membawa pisau sahungan dipandang bukan lelaki (jantan). Pisau sahungan juga merupakan simbol kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan sebagai lelaki yang diposisikan
sebagai imam, penguasa dalam keluarga. Kekuasaan ini pun supreme diatas kekuasaan perempuan. Ini yang menyebabkan bahwa tak banyak
perempuan Ogan yang berkiprah di luar rumah. Perempuan Ogan kebanyakan berkarya
di seputar masalah domestik seputar keluarga.
d. Perahu
Terdapat dua jenis perahu, yakni perahu agung dan perahu biasa. Perahu Lanting dan Rakit.
Lanting dibuat dari batang-batang bambu. Rakit adalah susunan batang-batang bambu
dalam jumlah lebih banyak Rakit biasanya guna membawa bambu ke hilir
untuk dijual. Merupakan alat
angkut berskala besar dan berjarak jauh. Alat angkut yang lebih modern di sungai adalah
Ketek.
e.Angkung Kalat dan
gerobak.
Angkung Kalat adalah alat
angkut tanpa roda, biasanya ditarik kerbau atau
sapi. Sedangkan Gerobak
adalah alat angkut dengan roda, ditarik sapi atau kerbau. Di zaman ini orang banyak menggunakan sepeda (kerite) dan motor.
f. Peralatan pertanian: tengkuit, pisau
sahungan. Peralatan
nelayan: kambuh, sekhuwe, keluntang, ubai. Teknologi tidak banyak
mengalami modifikasi.
4. Mata
pencaharian dan sistem-sistem ekonomi
Meski masyarakat Ogan tinggal di
pesisir dan sepanjang aliran sungai, mata pencaharian pokok mereka adalah
pertanian. Perkebunan kopi dan karet tersebar di lahan-lahan yang masih luas.
Tanah cukup baik untuk menanam sayuran. Meski struktur tanah cukup baik untuk tinggal menetap dan
bercocok tanam, masyarakat masih berpindah-pindah dan memanfaatkan hasil hutan/merambah hutan (eksploitasi). Masyarakat Ogan mengambil dan memanfaatkan rotan. Rotan yang sering
dimanfaatkan adalah semambu(rotan
besar) dan sehimit
(rotan kecil). Orang Ogan juga memanfaatkan kayu dan bambu. Secara tradisional untuk mengambil kayu dan bambu
punya ‘hitungan’ tersendiri, misalnya bulan sedang naik (terang) atau turun
(gelap). Masyarakat Ogan juga memanfaatkan aren untuk mendapatkan ijuk dan
untuk membuat gula.Masyarakat
bercocok tanam secara berpindah-pindah
dan mengolah lahan secara tradisional, padi, sayur, dan buah-buahan.
Selain bercocok tanam,
mata pencaharian masyarakat Ogan adalah mencari ikan/nelayan di sungai. Sangat sedikit
masyarakat Ogan yang berprofesi sebagai nelayan. Ikan sangat banyak banyak,
belum berharga, dan dengan peralatan sederhana mudah mendapatkan ikan. Biasanya
mencari ikan hanya dipandang sebagai selingan atau sarana untuk mendapatkan
lauk untuk kebutuhan keluarga saja.
Hasil
merambah hutan diolah
secara individu. Biasanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja, kadang
dimasak dan dipermentasi untuk disimpan. Contohnya, durian dimasak menjadi
lempok, diawetkan menjadi tempoyak. Ikan dipanggang, diawetkan menjadi kasam
dan rusip. Hasil pertanian dijual
dalam bentuk mentah (bahan baku). Tak jarang juga dilakukan barter dengan barang-barang konsumsi sehari-hari.
5. Sistem
kemasyarakatan
a. Stratifikasi
Masyarakat Ogan yang secara
tradisional masih percaya dengan Puyang, maka silsilah dari Puyang ini
membentuk sebuah garis kekerabatan hingga saat ini. Contohnya : di daerah
Pengandonan Ogan Ulu Baturaja adalah keluarga besar yang diperanakkan oleh
Pyang Kurungan Dewa dan istrinya Darma Sinto. Mereka memiliki keturunan yang
tersebar menjadi suku-suku Ogan, yaitu
1. Puyang pertama, Puyang Semengok
di desa Pengandonan Baturaja
2. Puyang kedua ke Ogan Ilir
3. Puyang ketiga ke Semende Darat
4. Puyang keempat ke Rambang dengan
nama Semidang Sakti, puyang ini merupakan Puyang Ogan di Batu Putiah
5.
Puyang kelima ke Bengkulu
6. Puyang keenam ke Basemah Pagar
Alam.
Keturunan
Puyang dianggap sebagai orang yang mengetahui banyak hal. Maka menduduki strata
sosial atas dan dianggap sebagai tokoh adat. Lembaga Adat tidak terbentuk. Jika
terjadi permasalahan adat akan diselesaikan dengan musyawarah keluarga. Ini
dimungkinkan karena sistem kekerabatan sangat kental dan suku Ogan bukanlah
suku yang avonturir. Sangat komunal dan komunitasnya tinggal di daerah yang
berdekatan.
b. Sistem perkawinan
Perkawinan bersifat eksogami. Adat
perkawinan dikenal dengan nama “Ngunduh Mantu”. Ngunduh mantuu merupakan bentuk
perkawinan dimana pihak laki-laki mengunduh (mengambil) mempelai perempuan
setelah memenuhi degadaian ( persyaratan) berbentuk mas kawin berupa wajik
(pelak).
Proses perkawinan Ngunduh Mantu
terdiri dari :
1.
Mintak status
Pada
tahap ini calon mempelai laki- laki datang sendirian ke rumah pihak perempuan
untuk menanyakan apakah sudah boleh untuk datang bersama kedua orang tua dengan
tujuan masati rasan (menentukan kelanjutan hubungan). Jika diperbolehkan akan
berlanjut pada tahapan berikutnya.
2.
Masati rasan
Setelah
mendapat ijin dari kedua orang tua pihak perempuan, maka pihak laki- laki
datang kembali bersama kedua orang tua kerumah pihak perempuan untuk memastikan
apakah benar antara anaknya (pihak laki- laki) menjalin hubungan dengan anak
dari pihak perempuan (masati rasan)
3.
Tendang malam
Setelah
mendapat jawaban dari pihak perempuan pada waktu yang telah disepakati bersama.
Keluarga pihak laki- laki datang kembali kerumah pihak perempuan untuk
melakukan lamaran (madukan rasan). Dalam kesempatan ini pihak laki- laki
memberikan kesempatan kepada pihak perempuan untuk mengemukakan apa saja yang
diingini oleh pihak perempuan (degedaian) biasanya berupa permintaan untuk
membawa wajik (pelak) dan mas kawin. Dan apabila keluarga pihak laki- laki
sanggup memenuhinya maka pihak laki- laki mengajukan permintaan untuk memilih
waktu yang tepat untuk pelaksanaan akad nikah dan pesta pernikahan agar terjadi
kesepakatan (mutuskan kate). Pihak laki- laki juga meminta waktu untuk datang
kembali guna memenuhi permintaan pihak perempuan.
4.
Ngantatkan seserahan
Sesuai
dengan waktu yang telah disepakati pihak laki- laki datang kembali bersama
pemuka adat dengan membawa mukun (rantang besi) yang berisi wajik(pelak)
dan membawa mas kawin yang dikehendaki pihak perempuan serta sejumlah
uang sebagai bentuk bantuan dana dalam pelaksanaan sedekah nanti.
5.
Nunggalkan ngesanak (pertemuan
kerabat)
Nunggalkan
ngesanak merupakan suatu pertemuan antar semua kerabat dimana dalam pertemuan
ini orang tua calon pengantin menyampaikan bahwa akan melangsungkan pernikahan
anaknya. Jadi disini pihak keluarga mohon bantuan untuk memperlancar proses
tersebut yaitu dengan jalan meminta kerabat bersedia hentauan (menyediakan hidangan/makanan di rumah masing- masing)
pada saat payuan (sedekah)
6.
Napai
Berdasarkan
waktu yang telah disepakati maka 2 (dua) hari sebelum upacara pernikahan semua
anggota keluarga laki-laki berkumpul dirumah calon memepelai laki- laki untuk
membahas dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan saat upacara
pernikahan nanti.
Dilain
pihak, dua atau tiga orang (biasanya bujang) ditugaskan oleh keluarga mempelai
untuk menyampaikan niat atau keinginan akan mengadakan sedekah pernikahan pada
tanggal yang telah disepakati masyarakat ogan menyebutnya ngajak. Orang yang
diberi tugas wajib mendatangi semua rumah warga kampung guna menyampaikan hal
tersebut. Dan warga diminta untuk membantu pekerjaan- pekerjaan rumah tangga di
rumah keluarga mempelai pada saat ngukus dan datang kembali saat payuan untuk
merayakan pesta perkawinan secara bersama- sama.
7.
Ngukus (Masak- memasak)
ngukus
adalah sehari sebelum upacara pernikahan. Pada hari ini juga dilakukan akad
nikah (bambangan) dan ijab Kabul di depan saksi dan dicatat secara hukum guna
mendapatkan akta nikah serta pernikahan itu dianggap sah secara hukum adat dan
hukum negara. Semua keluarga dan penduduk desa datang kerumah si empunya hajat
dengan membawa tumbu (baskom kecil) yang berisi beras dan kelapa serta ayam
atau telur sebagai bentuk solidaritas warga ogan. Ibu- ibu memasak bersama dan
bapak- bapak memotong hewan seperti ayam, kambing, atau sapi untuk dimasak oleh
ibu- ibu sebagai lauk dalam upacara pernikahan yang dilaksanakan esok harinya.
Pada
hari ini juga muda-mudi yang ada di desa itu saling membantu dalam
membuat dekorasi (hiasan tambahan) untuk memperindah rumah pengantin. Saat
inilah terjadi keakraban antara muda-mudi kampung.
8.
Payuan (Sedekah)
Setelah
melakukan persiapan yang matang maka tibalah saat upacara pernikahan (payuan).
Pengantin mengenakan pakaian adat sumatera selatan berupa songket. Saat payuan
ini semua kerabat berkumpul di rumah pengantin. Pada hari ini terdapat juga
acara- acara khas masyarakat ogan antara lain pantauan yaitu tamu undangan di
ajak kerumah sanak keluarga pengantin untuk makan siang. Sedangkan semua sanak
keluarga dekat yang turut membantu keluarga pengantin dengan jalan menyiapkan
hidangan di rumah masing- masing disebut hentauan. Hidangan ini diperuntukan
bagi tamu undangan yang hadir. Ini merupakan bentuk solidaritas kerabat.
Pihak
mempelai pria biasanya mengajak keluarga dari pihak nenek si pengantin pria
untuk datang. Kemudian pihak keturunan nenek tersebut mengajak orang terdekat
untuk bersama- sama datang kerumumah pengantin. Ini dinamakan panggilan. Setiap
orang yang dipanggil wajib membawa bakul yang berisi kain dan takung (semacam
tiker) untuk diserahkan kepada keluarga pengantin. Setelah acara sedekah
selesai pada waktu pulang para anggota panggilan tadi diberi bungkusan berupa
nasi dan lauk secukupnya sebagai tanda terima kasih.
9.
Pembubaran Panitia
setelah
semua acara selesai, pada malam harinya semua anggota keluarga diajak berkumpul
kembali dirumah pengantin. Pada kesempatan ini orang tua pengantin mengucapkan
terima kasih dan makan malam bersama.[14]
Dalam hal kemasyarakatan, Ogan
Ulak-an lebih banyak dipengaruhi buadaya Komering Palembang sedangkan Ogan
Uluan masih berpola masyarakat Semendo.
c.
Sistem pemerintahan dalam masyarakat
Secara
umum, pemerintahan di Sumatera merupakan campuran sistem Patriakhi dan Feodal[15].
Seorang pemimpin taat pada aturan adat. Dominasi laki-laki menyebabkan ketertutupan pada pemimpin perempuan. Hal ini
perpengaruh hingga saat ini di mana kaum perempuan jarang tampil sebagai pemuka
masyarakat.
6.
Bahasa
Bahasa suku Ogan mirip dengan bahasa
Malaysia, dituturkan oleh penduduk yang tinggalnya di pesisir atau di tepian
sungan Ogan. Bahasa Ogan memiliki banyak ragam, merupakan bahasa pergaulan yang
berbeda di setiap dusun kecil yang tersebar sepanjang pesisir dan tepian sungai
tersebut. Misalnya Bahasa Ulu ogan di daerah Kelumpang, Ogan Ulu (daerah Pengan
donan), Ogan Baturaja (kota Baturaja), Ogan ilir (daerah Lubuk Batang dan Muara
Kuang), bahasa di dusun Muara Penimbang , Talang Aur, Air Itam, Sungai Pinang,
Tanjung Raje. Semakin ke hulu, logat
(intonasi) akan terdengar keras. Semakin ke hilir makin halus dan terdengar
berirama.
Suku Ogan memiliki kemampuan yang
baik dalam menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi dengan masyarakat,
baik dalam komunitas internal maupun eksternal (masyarakat dusun tetangga). Hal
ini tampak pada kebiasaan berbalas pantun. Berbalas pantun juga menjadi bagian
dari kesenian khas suku Ogan.Dalam keseharian bahasa Indonesia sudah menjadi
bahasa pengantar, meskipun suku Ogan lebih banyak menggunakan bahasa daerah
karena dirasa lebih komunikatif dan lebih mudah dipahami.
7. Kesenian.
Kesenian yang terkenal dari suku
Ogan ini adalah TERBANGAN, yang memadukan seni gerak dan vocal Rudat, berbalas
pantun dan bertutur. Berbalas pantun dan bertutur ini sebenarnya mencerminkan
adanya potensi untuk berelasi secara luas dengan masyarakat luar suku Ogan.
Tetapi pada kenyataannya , keterikatan pada hal-hal primordial menjadikan suku
Ogan belum sepenuhnya mau mebuka diri dan kompetitif.
Tari-tarian dan kesenian TERBANGAN ini
digunakan untuk penyambutan tokoh masyarakat dan perayaan yang dianggap
penting. Rudat sebenarnya merupakan bentuk explorasi gerakan pencak silat local
yang pada perkembangannya dikreasikan sesuai dengan tema acara dimana Rudat
akan ditampilkan.
Dari ketujuh unsur budaya universal
tersebut, hanya sedikit gambaran yang diperoleh dari masyarakat Ogan. Masih
diperlukan studi lanjut secara empirik agar mampu menjawab berbagai tantangan
di segala sektor kehidupan. Secara umum, hal yang menarik dalam perkembangan masyarakat adalah praktek hubungan sosial antar desa.
Adat kebiasaan yang terpelihara merupakan hukum rakyat yang menghasilkan tertib
pergaulan.[16]
Spiritualitas yang hidup di
masyarakat Ogan adalah kebersamaan,
persaudaraan, keluarga sebagai tiang utama tata pergaulan. Hal ini tampak pada
prisip hidup yang sering dikemukakan, yaitu : Sebatangahi , Jeme kite,
Sedulur Sehuma setanak-an , Sanak gale . Di satu sisi baik bagi
pengembangan potensi secara internal, tetapi di sisi lain , ikatan primordial akan
menyebabkan pesimis ketika berada atau harus berelasi dengan orang “diluar”
dari yang dianggap “saudara / keluarga”.
Musyawarah,
menjadi satu cara penyelesaian konflik. Hal ini tampak pada kegiatan yang
dibangun di rumah yang tak bersekat yang diperuntukkan bagi keluarga. Berada dalam lingkup keluarga memiliki mata pencaharian
dengan orientasi hanya bagi kebutuhan makan minum keluarga menjadikan suku Ogan
merasa cukup puas dan enggan untuk berupaya atau berinovasi lebih lagi. Nilai –
nilai kearifan local banyak kemiripan dengan suku Melayu pada umumnya. Dalam
konteks ruang dan waktu, perubahan sosial struktur sosial dan proses sosial
berlangsung lambat[17].
Hal ini dapat saja terjadi karena pengaruh faktor geografis, faktor demografi
serta faktor klimatologi yang stabil. Situasi social jarang mengalami
pergolakan, karena secara ekonomi terasa telah berkecukupan dalam memenuhi
kebutuhan hidup yakni memiliki rumah dan cukup makan. Situasi stabil tanpa
pergolakan ini mengurangi kreatifitas alam bekompetisi, sehingga perkembangan
sosial pun agak lambat. [18]
Catatan akhir
Tulisan
ini hanya sedikit menyingkap keunikan di balik cadar yang menyelubungi budaya
Ogan yang begitu mempesona. Mungkin juga tak bisa mewakili nilai instrinsik
yang jauh lebih indah yang tersimpan dalam kebudayaan Ogan. Besar harapan untuk
adanya penelitian atau telaah ilmiah tentang budaya ini yang tentunya akan
memperkaya khasanah budaya, bermanfaat bagi kemajuan masyarakat setempat serta
secara khusus berguna bagi reksa pastoran di paroki Sang Penebus Batuputih.
Terimakasih
kepada semua pihak yang bersama-sama berupaya membuat terang tabir Ogan. Kalau
bukan kita yang mencintai budaya kita sendiri siapa lagi. Semoga bermanfaat.
KEPUSTAKAAN
Irohmi,2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta :
Obor
Jenks,
Chris, 2013, Culture Studi Kebudayaan,
Yogyakarta Pustaka Pelajar
Manners,
Rpbert.A, 2012,Teori Kebudayaan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Martono,
Nanang, 2012, Sosiologi perubahan Sosial
Perpektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, Jakarta, Raja Grafindo
Persada
Marsden,
William, 2013, Sejarah Sumatera,
Jakarta : Komunitas Bambu
Ritzer,
George, 2012, Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Terkahir Postmodern,Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Saptomo,Ade,
2010, Hukum dan Kearifan Lokal, Jakarta:Grasindo
Peursen,
Van, 2013, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta : Kanisius
Diakses 8
September 2014
:
Handoko,
Elis,
http://www.hidupkatolik.com/2012/02/13/terbangan-ogan-katolik-di-batu-putih#sthash.ILzEAzM
Sedyawati,Edy,
http://kampoengilir.blogspot.com
Wandry
Paklevi, http://wandryogans.blogspot.com/2010/08/ogan-mania.html
http//kapanpulang.blogspot.com/2012/suku-suku-di-sumatera-selatan.html
[1]
http//kapanpulang.blogspot.com/2012/suku-suku-di-sumatera-selatan.html
[3]
Informasi berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan Suku Ogan ini diperoleh dari
wawancara dan diskusi dengan beberapa orang Ogan Katolik di desa Batuputih.
[4]Panenteisme (dari bahasa Yunani πᾶν (pân) "semua"; ἐν (en)
"dalam"; dan θεός (theós)
"Tuhan"; "semua dalam Tuhan") adalah kepercayaan yang
menyatakan bahwa Tuhan ada dan meresapi setiap bagian dari alam. Panenteisme
berbeda dari panteisme, yang percaya
bahwa Tuhan sinonim dengan materi alam semesta.[1]
Singkatnya, panteisme menyatakan "Tuhan adalah semua", sementara
panenteisme menyatakan "semua ada dalam Tuhan". Dalam panenteisme,
Tuhan belum tentu dipandang sebagai pencipta, tetapi lebih sebagai penggerak
alam semesta, sementara beberapa versi menyatakan bahwa alam semesta tidak
lebih dari bagian nyata dari Tuhan. Panenteisme mengklaim bahwa Tuhan lebih
besar dari alam semesta, dan beberapa versi menyatakan bahwa alam semesta ada
dalam Tuhan. Agama Hindu memiliki ciri panenteisme dan panteisme.
[5]
Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta : Kanisius , 2013, hlm.37
[6]Teisme, dalam penggunaannya yang paling luas,
adalah kepercayaan terhadap satu dewa. Beberapa penggunaan lebih kecil
menjelaskan bahwa dewa berada dalam entitas yang dapat dikenali tapi berbeda,
sama dengan panteisme. Penggunaan kecil lainnya mengatakan bahwa dewwa adalah
kekuatan eksistensi di alam semesta, dan tidak termasuk
sejenis bentuk deisme.
Teisme dapat dikelompokkan menjadi banyak jenis, seperti monoteisme (dimana kata Tuhan dikapitalkan) dan politeisme.
[7] Animisme adalah kepercayaan yang memuja arwah nenek
moyang.
[8] Istilah dinamisme berasal dari kata
dinamo artinya kekuatan. Dinamisme adalah paham/kepercayaan bahwa pada benda-benda
tertentu baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti
tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci.
[9] Istilah
totemisme berasal dari kata Ojibwa (suku Algonkin dari Amerika Utara), ditulis
secara beragam, totem, tatam, dan dodaim. Totem klan
tertentu dapat berupa burung, ikan,
binatang, atau tumbuh-tumbuhan tertentu. Kepercayaan totemisme biasanya diikuti
dengan beberapa aturan terkait totem yang mereka percayai, misalnya, komunitas
tidak boleh menyakiti, membunuh atau memakan binatang yang dianggap sebagai
totem. Totem dipuja, dihormati atau disakralkan karena berhubungan dengan klan
tersebut. Dongeng
tertentu biasanya mengaitkan totem tersebut karena berhubungan dengan
eksistensi komunitasnya, biasanya diwarisi dari nenek moyang mereka. Totemisme
lazim hidup di Afrika, Amerika dan banga-bangsa di Kepulauan Pasifik. Banyak
suku di Amerika kemudian membentuk simbol totem mereka pada patung maupun
ukiran kayu. Menurut Émile Durkheim, totemisme tidak bersifat individual, selalu
terkait dengan nilai komunitas. Di Autralia misalnya, mereka mempercayai totem
binatang tertentu karena binatang tersebut melambangkan kesatuan di antara
anggota suku mereka. Nilai-nilai yang diyakini baik yang ada pada totem
binatang tersebut kemudian dihayati dan dipakai sebagai panduan nilai moral
dalam hidup bersama.
[10]Yang pertama,
manusia merasa gentar. Allah dialami dan dirasakan manusia sebagai sesuatu yang
dasyat, sangat berkuasa, tak terhampiri, kudus, luar biasa keagunganNya.
Manusia merasakan hal seperti ini ketika berhadapan dengan kematian,
merenungkan kebesaran dan keindahan alam semesta ciptaaan Tuhan, bencana alam,
gerhana dan sebagainya. Di hadapan hal seperti itu, manusia merasa dirinya
kecil dan tak berdaya. Tuhan adalah “ Pribadi” yang menggentarkan atau mysterium
Tremendum (kata latin Tremendum berarti: mendahsyatkan atau
menggentarkan). Kedua, manusia merasa tertarik dan terpesona. Allah
dialami atau dirasakan sebagai “Pribadi” yang baik, penuh kasih, peduli,
menyenangkan, menenteramkan dan menakjubkan. Manusia merasakan hal seperti itu
ketika berhadapan dengan peristiwa kelahiran, kesembuhan, kesuksesan, hasil
panen, pergantian malam dan siang, pergantian musim, pertolongan dan penyertaan
Tuhan dalam hidupnya dan lain sebagainya. Dihadapan Allah yang seperti itu
manusia merasa damai dan bahagia. Allah dilihat manusia sebagai “Pribadi”
yang menggemarkan atau mysterium fascinosum (kata latin fascinans
berarti mengasyikkan atau menggemarkan). Jadi, Tuhan dilihat sebagai kuasa yang
menggentarkan tetapi sekaligus juga yang menggemarkan. Konsep inilah yang
disebut Numinosum tremendum et fascinosum; yang dikembangkan oleh
Rudolf Otto, seorang ahli teologi agama-agama yang jauh sebelum itu,
Augustinus, seorang Bapa Gereja yang hidup pada abad ke-4, sudah menyatakannya.
[11]
Elis Handoko,
http://www.hidupkatolik.com/2012/02/13/terbangan-ogan-katolik-di-batu-putih#sthash.ILzEAzM
[12]
Edy Sedyawati,http://kampoengilir.blogspot.com
[13]
Wandry Paklevi, http://wandryogans.blogspot.com/2010/08/ogan-mania.html
[14]
Wawancara dengan ibu Fatimah , 2April 2010
[15]
William Marsden, Sejarah Sumatera,
Jakarta : Komunitas Bambu, 2013, hlm 246-247
[16]
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal,
Jakarta:Grasindo,2010
[18]
Dahrendorf dalam George Ritzer, Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Terkahir Postmodern,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012
terimakasih! sangat membantu untuk mengerjakan tugas sekolah ;)
BalasHapus