SERBA−SERBI SUKU OGAN
Dataran
Tinggi Basemah, Leluhur Suku Ogan, dan Misteri Arya Penangsang?
Suku Ogan, merupakan komunitas
masyarakat yang hidup di sepanjang pinggiran Sungai Ogan Sumatera Selatan. Suku
ini dikelompokkan sebagai Pendukung Budaya Melayu Muda (Deutro Melayu).
http://kanzunqalam.files.wordpress.com/2014/04/sundaland3.jpg
Bahasa masyarakat Suku Ogan, dikelompokan ke dalam Bahasa Melayu
Tengah. Selain Suku Ogan, penutur dari
Bahasa Melayu Tengah ini antara lain: Suku Semendo, Lintang, Kisam, Pasemah,
Enim, Rambang, Lematang Ulu dan Kikim.
Dataran Tinggi Basemah
Dari kelompok Pendukung Budaya
Melayu Muda di Sumatera Selatan, suku yang tertua adalah Suku Pasemah, yang
mendiami Dataran Tinggi Basemah.
Berdasarkan temuan arkeologis, telah
ada masyarakat yang hidup disekitar Dataran Tinggi Basemah, di masa 4.500 tahun
yang lalu (2.500 SM). Nampaknya, Dataran Tinggi Basemah ini, merupakan
awal pemukiman dari masyarakat pendukung budaya Melayu Muda.
Leluhur Suku Ogan, diperkirakan
berasal dari dataran tinggi ini, yang dikemudian hari “turun gunung”, untuk
mencari lahan pemukiman yang baru. Keberadaan mereka dipinggiran Sungai Ogan,
pada akhirnya berinteraksi dengan masyarakat lainnya, untuk kemudian membentuk
satu kebudayaan tersendiri.
http://kanzunqalam.files.wordpress.com/2014/04/basemah3.jpg
http://kanzunqalam.files.wordpress.com/2014/04/ogan1.jpg
Kerajaan Sriwijaya, Negeri Melayu
Pada sekitar abad ke-7 Masehi,
berdiri Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Kerajaan Sriwijaya ini, cikal
bakal terbentuknya adalah melalui proses kesepakatan dari para tetua Pendukung Budaya
Melayu Muda.
Kesepakatan tersebut kemudian
mendapat dukungan dari berbagai suku dari daerah lain, seperti Suku
Minangkabau, Suku Komering dan sebagainya. Sehingga terbentuklah sebuah
kerajaan yang sangat kuat.
Diduga Sriwijaya berbentuk Negara
Federasi, dimana Para Pemimpin Lokal masih memiliki kekuasaan di daerahnya.
Kerajaan Sriwijaya, berdasarkan catatan sejarah, adalah Kerajaan Melayu
terbesar yang pernah ada. Sistem Federasi yang diterapkan kerajaan ini,
memungkinkan pengaruhnya hampir meliputi seluruh wilayah di Asia Tenggara.
Makam Arya Penangsang di Indralaya Ogan Ilir
http://kanzunqalam.files.wordpress.com/2014/04/basemah4.jpg
Leluhur Suku Ogan
Setelah runtuhnya Kerajaan
Sriwijaya, masyarakat dipinggiran sungai ogan, mendapat pengaruh budaya
dari para pendatang. Mereka kebanyakan datang dari Lampung dan Tanah Jawa.
Di masa Raden Ario Dillah (Sultan
Abdullah) berkuasa, diperkirakan perkembangan Islam sangat pesat di
Masyarakat Ogan. Keluarga Para Waliullah ini kemudian membaur dengan Suku
Ogan, dan pada akhirnya menjadi bagian dari Leluhur Suku ini.
Berdasarkan Kisah Mitos serta
Legenda yang ada, Leluhur Suku Ogan tersebut antara lain :
1. Sanghyang Sakti Nyata. Berdasarkan
catatan masyarakat Lampung Pesisir Waylima, dikisahkan beliau memiliki 7 orang
anak, yang kemudian menjadi leluhur bagi Suku Ogan, Rejang, Semende, Pasemah,
Komering dan Lampung.
2. Ratu Sahibul (Arya Penangsang).
Berdasarkan cerita masyarakat Ogan dan Komering, Arya Penangsang tidak terbunuh
di Tanah Jawa, beliau mengungsi ke pulau sumatera, dan makamnya sekarang berada
di Indralaya Ogan Ilir.
Arya Penangsang diperkirakan hijrah
pada sekitar tahun 1549M. Di awali dari Kadipaten Jipang, kemudian singgah di
Kerajaan Banten, lalu dilanjutkan menuju Skala Brak (Lampung).
Dari Skala Brak ini rombongan beliau
menuju ke Desa Tanjung Kemala (Kerajaan Abung di Lampung). Setelah sempat
menetap di desa Tanjung Kemala, kemudian perjalanan dilanjutkan ke Surabaya
Nikan (Ogan Komering Ulu).
Di Surabaya Nikan ini beliau sempat
menetap cukup lama, disini beliau sempat menanam pohon kelapa sebanyak 40
batang serta meninggalkan batu lesung yang cukup besar.
Dari Surabaya Nikan ini, beliau
kemudian membuat perkampuangan yang dikenal dengan nama Desa Gunung Batu. Di
desa ini, beliau tinggal cukup lama, anak keturunan Arya Penangsang, banyak
berada di desa ini.
Perjalanan beliau berakhir di desa
Indra Laya (Ogan Ilir) Sumatra Selatan, di desa inilah beliau wafat pada tahun
1611M. Kehadiran Arya Penangsang di Sumatera Selatan, semakin diperkuat dengan
keberadaan Keris Pusaka Setan Kober, yang disinyalir berada di wilayah ini.***
Bahasa
Ogan
Bahasa Ogan, adalah bahasa
yang dituturkan sebagian besar masyarakat yang terdapat di Kabupaten Ogan Ilir
(Tanjungraja, Inderalaya, Pemulutan, Muara Kuang), Ogan Komering Ilir
(Pampangan, Tulung Selapan), dan Ogan Komering Ulu (Baturaja), Sumatra Selatan.
Bahasa Ogan yang dituturkan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di pesisir atau tepian Sungai Ogan. Bahasa Ogan yang digunakan oleh masyarakat di tepian sungai Ogan dikenal salah satu suku dari rumpun Melayu yaitu suku Ogan. Batasan Suku Ogan dikenal adanya istilah, Ulu Ogan (daerah Kelumpang), Ogan Ulu (daerah kecamatan Pengandonan), Ogan Baturaja (Kota Baturaja), dan Ogan Ilir (daerah Lubuk Batang dan Muara Kuang).
Bahasa Ogan yang dituturkan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di pesisir atau tepian Sungai Ogan. Bahasa Ogan yang digunakan oleh masyarakat di tepian sungai Ogan dikenal salah satu suku dari rumpun Melayu yaitu suku Ogan. Batasan Suku Ogan dikenal adanya istilah, Ulu Ogan (daerah Kelumpang), Ogan Ulu (daerah kecamatan Pengandonan), Ogan Baturaja (Kota Baturaja), dan Ogan Ilir (daerah Lubuk Batang dan Muara Kuang).
Klasifikasi: Austronesian: Malayo-Polynesian: Malayic:
Malayan: Ogan
Kamus:
- aban = awan
- abu = debu
- abu = abu
- akakh = akar
- aku = aku, saya
- ana' = anak
- anjiŋ = anjing
- an̄ut = mengalir
- aŋin = angin
- apə (ape) = apa?
- api = api
- asap = rokok
- atap = atap
- ati = hati
- awan = dan
- akhi = hari
- ayakh = air
- bapa' = ayah
- basah = basah
- batu = batu
- bau = bahu
- bəburu (beburu) = berburu
- bədənaŋ = berenang
- bəgawi = bekerja
- bəjalan = berjalan
- bənax = benar
- bəpikir = berpikir
- bəsa' = besar
- bətinə = wanita
- bəkhaŋkat = berdiri
- bəkhat = berat
- biluk = belok
- bini = istri
- bintaŋ = bintang
- buabuahan = buah
- bulan = bulan
- bulu = bulu
- buŋə = bunga
- buŋin = pasir
- buruŋ = burung
- busuk = busuk
- ca'ciŋ = cacing (cacing tanah)
- čupiŋ = telinga
- dagiŋ = daging / daging
- dahan = cabang
- dalam = dalam, di dalam
- danau = danau
- dataŋ = datang
- daun = daun
- dakhah = darah
- de'də = tidak
- di = di
- di bawah = di bawah
- di pucu' = di atas
- diə = dia
- dimanə = mana?
- diŋin = dingin
- dudu' = duduk
- əmpai = baru
- galə = semua
- gakham = garam
- gəlap = petir
- gəmu' = lemak / minyak
- gigi = gigi
- gumba' = rambut
- guruh = guntur
- iduŋ = hidung
- idup = hidup
- ijau = hijau
- ikan = ikan
- iku' = ekor
- iluk = baik
- ini = ini
- itam = hitam
- itu = bahwa
- jàhat = jahat
- jalan = jalan / jalur
- jantan = laki-laki
- jauh = jauh
- jakhum = jarum
- jəmə = orang / manusia
- kabut = kabut
- kalu = jika
- kamah = kotor
- kami = kita
- kamu = anda
- kanan = kanan
- kandal = tebal
- kayu = kayu
- kəbilə = kapan?
- kəci' = kecil
- kəci' = sempit
- kətiŋ = kaki
- kəkhiŋ = kering
- kiri = kiri
- kitə = kita
- kulit = kulit
- kuniŋ = kuning
- kutu = kutu
- lain = lain
- laki = suami
- landap = tajam
- laŋit = langit
- laut = laut
- liakh = leher
- libakh = luas
- lidah = lidah
- makan = makan
- malam = malam
- maliŋ = mencuri
- malu = malu
- masak = masak
- matə = mata
- mati = mati
- ma'manə = bagaimana?
- mbəlah = bagi
- mbəli = beli
- mbəŋka' = bengkak
- mbuka' = buka
- mbunuh = bunuh
- məliukh = ludah
- məpa' = kunyah
- məkhah = tekan
- məkhəbaŋ = terbang
- milih = pilih
- mimpi = mimpi
- minum = minum
- m̃ium = endus, cium
- mikhah = merah
- mukul = pukul
- mulut = mulut
- namə = nama
- n̄amuk = nyamuk
- nanam = tanam
- naŋis = nangis
- napas = nafas
- nəi' = daki, manjat
- nəta' = potong
- nimbak = tembak
- nipis = tiup
- niup = tiup
- njait = jahit
- nujah = tusuk
- nunu = bakar
- nutu' = kalahkan
- ŋali = gali
- ŋan = engkau
- ŋaniŋ = dengar
- ŋakhut = mengikat, kencangkan
- ŋəca' = mengadakan
- ŋgakhu = menggaruk
- ŋgigit = menggigit
- ŋina' = melihat
- ŋisap = mengisap
- ŋituŋ = menghitung
- ŋuap = menguap
- ŋumbai = membuang
- ŋumuŋ = mengatakan
- pala' = kepala
- panda' = pendek
- panjaŋ = panjang
- paras = hangat
- para' = dekat
- pəkhut (pekhut) = perut
- puŋguŋ = belakang
- putih = putih
- sakit = sakit
- sapə = siapa?
- sayap = sayap
- səmbun̄ɪ = sembunyi
- susu = susu, payudara
- takut = takut
- tali = tali
- tanah = bumi / tanah
- taŋan = tangan
- tau = tahu, mengerti
- taun = tahun
- təlukh = telur
- təmutah = muntah
- tətawə = tertawa
- tidukh = tidur
- tidukh = baring
- tikus = tikus
- titi' = jatuh
- tuə = tua
- tulaŋ = tulang
- tumbuh = tumbuh
- tumpul = kusam, tumpul
- ujan = hujan
- ulakh = ular
- uma' = ibu
- utan = hutan
- walawa = laba-laba
- khumah = rumah
- khumput = rumput
- mikhah = merah
bilangan:
- sijat = satu
- duə (due) = dua
- tigə (tige) = tiga
- əmpat = empat
- lime = lima
- enam = enam
- tujoh = tujuh
- lapan = delapan
- sembilan = sembilan
- sepuloh = sepuluh
Huruf Ulu
Orang
Ogan mengenal tulisan atau aksara yang disebut huruf ulu. Peneliti Belanda
menyebut huruf ulu sebagai aksara rencong. Disebut ulu karena tulisan ini
digunakan di kawasan ulu (pegunungan). Surat ulu merupakan turunan aksara
Pallawa yang digunakan hampir di seluruh sumatera bagian selatan. Aksara ulu
kadang disebut aksara Kaganga berdasarkan tiga huruf pertama dalam urutan
abjadnya. Kaganga terdiri dari 28 huruf, yaitu ka, ga, nga, pa, ba, ma, ca, ja,
nya, sa, ra, la, ta, da, na, kha, ha, mba, ngga, nda, nja, mpa, ngka, nta, nea,
kha, wa, dan ya; yang dilengkapi sejumlah tanda baca dan berkembang sesuai
dengan dialek masing-masing. Pada dialek Komering akhiran semua huruf dibaca a
(ka ga nga). Sementara pada dialek Ogan akhiran semua huruf dibaca e (keg e
nge). ***
Tradisi Ningkuk dan Sebambangan Sepasang Kekasih
Ningkuk atau ningkok merupakan salah
satu acara pertemuan pemuda pemudi sahabat kedua calon mempelai
yang akan naik ke pelaminan dan sarana untuk menyampaikan ungkapan
cinta maupun perasaan sayang di antara pemuda dan pemudi Ogan pada
umumnya.
Di satu lokasi yang disediakan
terdapat sekelompok pemuda berhadapan dengan sekelompok pemudi. Lalu ada
semacam acara saling kirim surat atau pantun. Sambil mengisi waktu,
beredar selendang diiringi tarian dan nyanyian. Pada saat musik atau nyanyian
berhenti selendang yang diedarkan ikut berhenti, dan ada semacam hukuman menari
bersama bagi yang saat itu memegang selendang.
Ningkuk menjadi sarana untuk mendapatkan pasangan atau
kekasih. Tradisi Ningkuk ini di era saya tahun 1970-1980-an masih sangat
digemari para pemuda dan pemudi. Biasanya tradisi Ningkuk ini
dilaksanakan sebelum esoknya diadakan upacara pernikahan.
Nah selanjutnya adalah tradisi
Sebambangan. Tradisi Sebambangan ini sangat unik. Ada yang menyebutnya
sebagai kawin lari, namun sebenarnya istilah ini kurang tepat. Pada dasarnya
jika sudah terjadi sebambangan ini, orangtua merestui. Kendati ada sedikit
hambatan biasanya adalah soal hubungan kekerabatan, atau soal usia dan kesiapan
sepasang kekasih untuk hidup berkeluarga.
Sepasang pemuda dan pemudi yang
bertemu pandang dan saling jatuh cinta saat tradisi Ningkuk, bila berlanjut dan
saling cocok lalu menjalin asmara. Nah, sebambangan bias saja adalah
kelanjutan dari jalinan cinta kedua sejoli yang ingin segera
menikah. Mereka sengaja melarikan diri ke rumah salah satu kerabat yang
dianggap tua secara adat. Biasanya sebambangan ini dilakukan karena “terpaksa”,
misalnya salah satu pihak orangtua tidak setuju dengan jalinan cinta dua
sejoli.
Pemuda yang sebambangan meninggalkan
secarik surat dan uang yang bias dengan mudah ditemukan, misalnya di saku
baju ayah dari gadis yang dilarikannya. Awalnya, sebambangan ini bisa
menimbulkan kegemparan di keluarga meskipun kemudian bisa memaklumi bahwa anak
gadisnya dibawa kekasihnya sebambangan. Sebambangan dilakukan oleh kedua
pasangan yang saling mencintai dan mohon restu kedua orangtua.
Menarik bahwa sebenarnya kedua
orangtua si pemudi sudah tahu harus menuju kemana mencarinya tetapi
secara adat mereka seolah seperti tidak tahu, dan harus mengadakan
rundingan keluarga. Pada saat menunggu ini pihak keluarga pemuda akan datang
dan terjadilah kesepakatan - kesepakatan sehubungan dengan rencana pernikahan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar